POTRET: “AYO PEDULI – MARI BERBAGI”

Kisah Kaum Lemah

Kuburan bagi sebagian orang adalah tempat yang angker dan menyeramkan. Namun, tidak bagi sebuah keluarga ini. Adalah seorang ibu berusia 43 tahun dan seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dengan rumah reyot sebagai tempat tinggal siang dan malam. Keduanya tinggal di rumah reyot berukuran 3×3 meter yang berlokasi di sekitar kuburan Cina – Onozitoli Kota Gunungsitoli. Menurut pengakuannya, kurang lebih 10 tahun lalu sang suami meninggal dunia dan selama 4 tahun sudah tinggal di sekitar kuburan tersebut. Bukan tak ingin hidup di tempat lebih layak bersama si buah hati tetapi hanya karena tak cukup pendapatannya untuk mengontrak rumah, apalagi membeli sebidang tanah di Kota Gunungsitoli, jelasnya.

Dalam potret saya saat itu, saya hanya mampu menyapa dan berbagi kasih kepada mereka dengan ala kadarnya. Sebelumnya, kegiatan seperti ini sudah saya jalankan di tempat yang berbeda untuk berbagi kasih kepada mereka yang pantas untuk ditanggung bebannya. Saya percaya bahwa sekecil apa pun yang diberikan maka sangat besar dan bermanfaat bagi mereka yang membutuhkannya. Selain itu, Saya sering mengatakan: “Percuma memberi kalau tunggu kaya, mustahil memberi bila tidak memiliki, tetapi berilah ketika memiliki meskipun dari keterbatasan”.

Menanamkan Sikap Peduli dan Berbagi kepada yang Lemah

Mungkin, kita sering mendengar anak-anak berteriak: “Punyaku! Punyaku!”. Begitulah sifat manusia sejak lahir. Manusia senantiasa ingin memiliki, semakin banyak maka semakin baik. Akibat dari sifat ini, kita cenderung kurang memedulikan kebutuhan orang lain. Karena itu, sikap jemaat perdana justru saling berbagi dengan penuh semangat dan sehati-sejiwa. Bila satu orang menderita, semua yang lain ikut menderita (Bdk. Kis. 4:32). Peduli dan berbagi salah satu bagian karakteristik utama kristiani, yakni kasih. Pemberian yang dilakukan dengan ikhlas kepada mereka yang membutuhkan meskipun dari keterbatasan, maka telah mewujudkan hukum utama dan terutama yaitu mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Bdk. Mat. 22:39).

Yesus Sang Penginjil dan yang kita imani telah menyamakan diri-Nya dengan mereka yang hina (Bdk. Mat. 25:40). Tentu, hal ini mengingatkan kita untuk menanamkan sikap peduli dan berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan pengharapan dan penghiburan, karena kita dipanggil untuk memperhatikan mereka yang lemah di sekitar kita. Untuk mengenali Kristus yang menderita, kita perlu memberi perhatian dan pendekatan kepada yang miskin dan rentan (Bdk. EG. 209-210). Di saat kita mewujudkan sikap peduli dan berbagi, maka kita telah melanjutkan karya Gereja. Kita sebagai warga Gereja, bertanggung jawab mengungkapkan kasih dengan mengusahakan kesejahteraan, menanggapi penderitaan dan kekurangan materiel setiap orang (Bdk. DC. 19).

Dalam dunia, terbagi menjadi kaya dan miskin serta penindas dan yang ditindas. Dari realitas ini, kita berkesempatan memiliki pilihan atau sikap mengutamakan kaum lemah atau orang miskin. Prioritas dalam hal ini adalah berhubungan untuk mengamalkan cinta kasih kristiani sebagai bentuk kesaksian iman yang dimiliki (Bdk. SRS. 42). Pilihan memperhatikan orang miskin dijalankan demi spiritualitas dalam usaha mengikuti hidup Yesus yang telah menyatakan diri-Nya dengan kaum miskin dan papa (Bdk. Flp. 2:5-8).

Pesan Yesus tentang menanamkan sikap peduli dan berbagi pada Mat. 25:40, merupakan nasihat kepada kita kaum beriman untuk terus beramal baik kepada sesama. Memberi adalah bentuk nyata dari cinta yang universal, cinta yang memberi tanpa pamrih. Perbuatan kasih menginspirasi dan mendorong setiap kita untuk berbagi. Sikap berbagi menjadi pernyataan bahwa kita mengasihi. Berikan semampu kita, berikan dengan ikhlas, hati terbuka dan dengan suka cita, sehingga kita menjadi berkat bagi orang lain karena hidup ini adalah kesempatan.   

Penulis,

Gizakiama Hulu, S.Ag., M.Ag.

(Dosen STP Dian Mandala)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *