Kerasulan di Rumah Sakit Umum Gunungsitoli

Membawakan Renungan

Pada hari Kamis, 26 April 2018 salah seorang dosen STP Dian Mandala Elisabet Subiati, S.S., Lic.Th., melakukan kerasulan di Rumah Sakit Umum Gunungsitoli. Ia adalah seorang suster SdC. Dalam kunjungannya di RSU Gunungsitoli, ia menyetir kembali kata-kata Paus Fransiskus pada hari peringatan orang sakit sedunia tahun 2018 bahwa: “Salib tidak menghadirkan tragedi – keputus-asaan, justru salib menunjukan kemuliaan cinta Yesus hingga titik terakhir”. Hal ini disampaikanketika membuka renungannya di hadapan kurang lebih 20 orang karyawan dan staf pegawaiRSU Gunungsitoli. Pesan Paus Fransiskus pada peringatan orang sakit yang ke-26 itu bertolak dari Injil Yohanes 19:26-27, yang mengatakan: “Ibu, inilah anakmu…, dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam  rumahnya”.

 

Foto bersama Staf – Pegawai RSU Gunungsitoli

Di akhir renungannya, suster Elisabet membawakan doa permohonan bagi para karyawan dan staf pegawai di Rumah Sakit tersebut. Sebelum kegiatan itu diakhiri, Pendeta Eve atau salah seorang staf rumah sakit yang bertugas di bagian pelayanan rohani menyampaikan sepatah – dua patah kata dengan merangkum apa yang sudah disampaikan oleh suster Elisabet dengan statement demikian: ”Salib bukanlah tempat keputusasaan tetapi tempat untuk berempati pada penderitaan orang lain; Salib adalah tempat pernyataan komitmen hidup setia; Salib adalah sarana untuk mengasihi sampai terluka, hadir sebagai seorang ibu yang memiliki hati Bapa; Salib adalah alat pengingat untuk tetap hidup menjadi berkat”.

Kegiatan kerasulan atau kunjungan ke RSU Gunungsitoli ini, merupakan salah satupengabdiaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, setiap dosen STP Dian MandalaGunungsitoli dianjurkan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, terima kasih kepada pihak RSU Gunungsitoli atas kerja sama yang baik dengan pihak lembaga pendidikan STP Dian Mandala. Semoga pengabdian tersebut dapat bermanfaat kepada masyarakat.

Public Hearing: Masihkah Adat Membelenggu?

Pada tanggal 20 April 2018, dosen STP Dian Mandala (Elisabet Subiati, S.S., Lic.Th. dan Evimawati Harefa M.Ag.) mengikuti public hearing/dialog interaktif dengan tema: Masihkah Adat Membelenggu? Potret perempuan dalam adat/budaya Nias terkini yang dilaksanakan oleh Yayasan Holiana’a dalam rangka merayakan hari Kartini tahun 2018. Pertemuan ini mendialogkan masalah yang dihadapi oleh wanita Nias khususnya berkaitan dengan masalah adat.
Berdasarkan pengalaman yang disampaikan oleh para peserta sebagian mengatakan bahwa adat tidak membelenggu perempuan saat ini, dengan alasan bahwa ada banyak perempuan yang sudah sekolah dan menjadi pemimpin saat ini. Akan tetapi, sebagian juga mengatakan bahwa adat masih sangat membelenggu perempuan Nias sampai sekarang. Hal ini dapat dibuktikan dari sistem budaya yang tidak mewarisi harta kepada perempuan, “Bowo” ditentukan berdasarkan jenjang pendidikan seorang anak perempuan tidak diperkenankan mengambil keputusan dalam upacara adat “huhuo hada”, perempuan memiliki tugas multi ganda dibandingkan dengan peran laki-laki, otonomi dalam diri perempuan kurang, dan masih banyak lagi praktek-praktek yang mendiskriminasikan perempuan. Singkatnya, hal demikian terjadi karena sistem patriark yang masih sangat melekat dalam budaya orang Nias.
Menyikapi hal tersebut, peserta mengusulkan beberapa saran sebagai rencana tindak lanjut, yaitu: Mengubah “Fondrako” (sistem adat yang sudah disahkan), mensosialisasikan hasil kegiatan kepada masyarakat umum, menulis buku tentang gender, dan membentuk tim kerja untuk seminar hasil pertemuan yang akan dilaksanakan tahun depan.