Celakalah Aku, Bila Aku Tidak Memberitakan Injil

RD. Blasius S. Yese, Pr

Menarik merenungkan komitmen kerasulan dari Rasul Paulus, sebagaimana secara ringkas terungkap dalam judul tulisan ini. Kita mungkin masih ingat, di bawah tema «Dibaptis dan Diutus: Gereja Kristus dalam Misi di Dunia», Bapa Suci Paus Fransiskus menetapkan bulan Oktober 2019 yang lalu sebagai Bulan Misi Luar Biasa, sebagai salah satu bentuk peringatan seratus tahun Surat Apostolik Maximum Illud dari Paus Benediktus XV (30 Nopember 1919). Perayaan Bulan Misi Luar Biasa ini tentu lebih dari sekadar momen memorial, sebab, seperti kata Bapa Suci Paus Fransiskus,  menjadi kesempatan untuk «memperbaharui komitmen misionaris Gereja dan memberikan dorongan evangelisasi baru untuk pekerjaan pengabarannya dan membawa kepada dunia keselamatan Yesus Kristus, yang mati dan bangkit kembali» (Pesan Sri Paus Fransiskus untuk Hari Minggu Misi Sedunia 2019).

Memang amat penting menyadari dan memperbaharui semangat misioner kita selaku orang-orang terbaptis. Bisa saja, mungkin, kita lupa pada tugas perutusan itu. Kita tahu bahwa berkat Baptisan, kita ambil bagian dalam tiga jabatan atau tugas Kristus: nabi, imam dan raja. Menjadi misionaris kena pada tugas kenabian kita. Berkat Baptisan kita dikuduskan oleh Allah, dan selanjutnya «umat Allah yang kudus mengambil bagian juga dalam tugas kenabian Yesus, dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentang-Nya terutama melalui hidup iman dan cinta kasih, pun pula dengan mempersembahkan kepada Allah korban pujian, buah hasil bibir yang mengaku nama-Nya» (Lumen Gentium 12). Penting digarisbawahi bahwa «tugas mewartakan Injil kepada semua orang meruakan misi hakiki Gereja» (Evangelii Nuntiandi art. 14).

Semangat Misioner Rasul Paulus

Menarik merenungkan semangat misioner Rasul Paulus. Kita ketahui bahwa, Rasul Paulus adalah Rasul yang luar biasa. Ia membawa Injil kepada bangsa-bangsa. Ia adalah seorang misionaris sejati. Baginya, memberitakan Injil merupakan suatu keharusan; sesuatu yang tidak punya alasan apapun untuk tidak dilaksanakan. «Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil» (1 Kor 9:16), demikian komitmen Rasul Paulus.  Rasul Paulus melihat tugas pewartaan Injil sebagai kepercayaan yang diberikan Tuhan kepadanya (1 Tes 2:4). Oleh karena itu, dia merasa tak punya alasan untuk memegahkan diri atau untuk menuntut upah atas tugas memberitakan injil itu (1 Kor 9:16). Ketulusan dan pemberian diri yang total dari Rasul Paulus itu terungkap dalam pernyataannya, «Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil».

Selain sebagai pemberita Injil, Rasul Paulus memiliki keterampilan dalam bertukang, yaitu membuat tenda (bdk. Kis 18:3). Keterampilan dalam bertukang itu menyokongnya dalam mengemban tugas sebagai pemberita injil. Ia tidak mau membebani orang lain. Dia bekerja keras untuk menghidupi dirinya, sehingga tidak menjadi beban bagi orang-orang yang kepada mereka warta injil disampaikan (bdk. 1 Tes 2:9; 2 Kor 12:13-15). Ia bahkan rela mengorbankan harta miliknya. Konsistensi Rasul Paulus pada pewartaan Injil dipertahankannya hingga akhir hidupnya. Kematiannya sebagai martir di Roma adalah konsekuensi dari sikap imannya, yang tidak mau diam untuk mewartakan Injil. Bagi Rasul Paulus, Yesus adalah segalanya. Dalam suratnya kepada umat di Filipi ia menulis bahwa setelah ia mengenal Yesus, semua yang lain yang dia miliki menjadi tidak ada artinya apapun. «Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan  berdasarkan kepercayaan» (Filipi 3:8-9).

Semangat misioner Rasul Paulus itu pantas kita teladani dalam mengemban tugas dan tanggung jawab kita sebagai misionaris atau orang yang mendapat perutusan Tuhan untuk memberitakan Injil. Rasul Paulus mewartakan Injil tidak hanya secara verbal, baik secara lisan maupun tertulis. Teladan hidupnya juga, antara lain tidak mau membebani orang lain, adalah cara hidup yang diinpirasi oleh Injil Kristus. Demikian juga, kerelaannya untuk berkorban hingga kemartirannya adalah salah satu bentuk pewartaan yang berdaya membawa banyak orang untuk mengimani Kristus.

Memanfaatkan Media

Situasi yang dialami para Rasul dulu, termasuk yang dialami oleh Rasul Paulus, amat jauh berbeda dengan situasi yang dihadapi sekarang ini, khususnya dalam hal ketersediaan fasilitas atau media pewartaan. Sarana transportasi sekarang ini amat membantu kita untuk bisa bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Selain itu, media sosial digital sangat memudahkan kita untuk makin akseleratif dalam mendekatkan Injil kepada banyak orang. Bapa Suci Paus Benediktus XVI pernah mengatakan, «Di dalam dunia digital terdapat jejaring-jejaring sosial yang memberikan peluang-peluang sezaman untuk berdoa, meditasi, dan berbagi firman Allah […] Dalam upaya untuk membuat Injil hadir dalam dunia digital, kita dapat mengundang orang untuk datang bersama-sama untuk berdoa dan perayaan liturgi di tempat-tempat tertentu seperti gereja dan kapel» [Pesan Paus (Emeritus) Benediktus XVI untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-47, tahun 2013].

Pemanfaatan media sosial digital untuk tujuan mewartakan Injil tentu tanpa mengabaikan perjumpaan langsung antarpribadi. Ada banyak hal yang tak bisa disampaikan dan dipahami secara purna lewat media sosial; dan hal-hal itu hanya bisa diatasi dengan perjumpaan langsung. Memanfaatkan media sosial sebagai media pewartaan Injil berarti menjadikannya sebagai «jembatan» untuk menyampaikan berita sukacita, kebenaran, kebaikan, keadilan, kedamaian dan pengharapan yang berasal dari Kristus. Bagi para murid Kristus, ketika media sosial dimanfaatkan untuk memberitakan Injil, maka dengan sendirinya berita hoax, provokatif dan destruktif tidak mendapat tempatnya lagi, sebab hal-hal itu bertentangan dengan hakikat Injil sebagai berita sukacita yang membawa keselamatan. Pemanfaatan media sosial untuk mewartakan Injil adalah bagian dari bentuk pewartaan verbal-tertulis.

Selain itu, memberitakan Injil bisa juga disampaikan melalui kesaksian hidup dan karya-karya kita. Hidup kita menjadi kesaksian injili bila nilai-nilai injili menjadi habitus hidup kita, antara lain: bersikap tulus dan jujur, bertanggung jawab dan dedikatif, bersikap peduli dan tidak egois, mau mengampuni dan tidak mendendam, bersikap rendah hati dan rela berkorban, bersikap adil dan mencintai tanpa pamrih. Karya-karya kita juga harus menjadi media untuk mewartakan Injil—apalagi bila karya dan pekerjaan kita berhubungan dengan kepentingan banyak orang. Karya kita menjadi media pewartaan Injil ketika karya itu merupakan karya yang baik dan benar, serta memberikan manfaat untuk kehidupan banyak orang. Dengan kata lain, karya kita menjadi saluran berkat bagi banyak orang. Melalui semuanya itu, kita melaksanakan amanat agung dari Tuhan Yesus, «Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk» (Mrk 16:15).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *