MEMAKNAI HARI MINGGU SEBAGAI HARI TUHAN: SUATU KAJIAN ATAS PERINTAH ALLAH KETIGA

Gizakiama Hulu*

Abstrak

Tidak dapat disangkal bahwa dalam kenyataannya, masih terdapat umat beriman yang tidak memahami dan memaknai hari Minggu secara mendalam. Dari kurangnya pemahaman itu sangat berakibat hari Minggu dipandang sebagai hari Tuhan hanya sekadar perayaan biasa saja, sehingga umat beriman kurang aktif untuk mengikuti Ibadat setiap hari Minggu dan menyamakan hari Minggu seperti hari Sabat dengan mengerjakan kegiatan yang menghalangi perayaan hari Tuhan. Itu artinya, umat beriman kurang menyadari, menghayati dan memaknai hari Minggu yang merupakan hari istimewa untuk dirayakan bersama umat beriman. Memang, dalam merayakan hari Tuhan orang tidak dilarang bekerja dan berbuat. Akan tetapi, terlebih dahulu diutamakan untuk pergi ke gereja mengikuti Ibadat bersama dan kemudian diteruskan dengan pelayanan-pelayanan untuk kebutuhan keluarga. Sebagai umat beriman perlu mengetahui di dalam tradisi Kristen, Sabat telah digeser ke hari Minggu yang merupakan hari untuk merayakan hari kebangkitan Kristus. Perayaan hari Minggu, menghadirkan kembali peristiwa Tuhan yang telah terjadi, kenangan akan masa lampau sejarah keselamatan bangsa Israel serta menghadirkan masa depan yang bercorak eskatologis sebagai peristiwa yang bakal disongsong pada masa depan. Pada hari Minggu, Allah mengundang dan mengumpulkan umat-Nya dari seluruh penjuru dunia untuk mengenangkan kembali kebangkitan Putera-Nya dari antara orang mati melalui perayaan Ibadat Sabda dan Ekaristi.

Kata kunci: Hari Minggu, Perintah Allah Ketiga, dan Umat Beriman.

1.  Pendahuluan

Hari sebagai kronologi perhitungan waktu merupakan bagian terpenting bagi manusia untuk melaksanakan aktivitas hidupnya. Dari berbagai jenis hari yang dikenal manusia, ada satu hari yang disebut hari Minggu atau hari Tuhan, karena “Bagi orang Kristen sekarang, hari Minggu adalah hari Tuhan.”[1] Allah sangat menghendaki, semua manusia yang percaya kepada-Nya menyiapkan saat-saat khusus untuk menghormati Tuhan. Maksudnya, agar manusia bukan hanya mampu meminta dan memohonkan terus-menerus kepada Tuhan melainkan harus mampu bersyukur memuji segala kebaikan dan karya Allah dalam hidup.

Di kalangan umat beriman Kristiani masih banyak yang kurang memahami dan memaknai hari Minggu sebagai hari Tuhan. Kerapkali, umat beriman menggunakan berbagai alasan untuk menjauhkan diri dari sikap syukur pada hari Minggu dan bahkan menggunakan ayat-ayat Kitab Suci tertentu untuk memberi alasan dari perbuatan tidak datang ke gereja, dikatakan: “Setelah Allah bekerja enam hari lamanya maka pada hari ketujuh Allah beristirahat” (Kel. 20:8). Demikian pula pemahaman umat beriman setelah merasa lelah dalam enam hari lamanya untuk bekerja mencari nafkah bagi keluarganya maka hari Minggu dipakai sebagai kesempatan untuk tidur nyenyak, berjudi, bersenang-senang dan rekreasi tanpa pergi ke rumah Tuhan untuk memuji dan bersyukur kepada-Nya. Seharusnya, umat beriman menyadari dan memahami bahwa “Gereja merayakan Kristus pada hari ‘kedelapan’[2] hari yang tepat disebut hari Tuhan atau hari Minggu.”[3]

Dari fenomena tersebut, maka perlu memberikan pemahaman intensif kepada umat beriman terutama umat Katolik dalam memaknai hari Minggu sebagai hari Tuhan. Memaknai hari Tuhan tidak menghayati dan melihat hari Minggu sebagai hari istirahat saja dari pekerjaannya melainkan lebih kepada sikap “Penghayatan misteri penyelamatan Allah dengan mengikuti persekutuan umat  beriman serta keikutsertaan umat Allah dalam perayaan Ibadat hari Minggu.”[4] Pada hari Minggu Allah mengundang umat-Nya untuk bersyukur dan mendengarkan Sabda-Nya sekaligus supaya dapat mewujudnyatakannya dalam pergumulan hidup dengan sesama, sebab; “Hari Minggu menggantikan hari Sabat agama Yahudi sebagai hari istirahat.”[5]

2.  Hari Minggu sebagai Hari Tuhan

2.1.  Hari Sabat bagi Orang Yahudi

Sabat atau Sabtu adalah hari ketujuh menurut penanggalan agama Yahudi. Kata Sabat berasal dari bahasa Ibrani “Shabbat” yang berarti berhenti bekerja atau beristirahat.[6] Perihal hari Sabat bagi agama Yahudi, William Chang menegaskan: “Hari Sabat, seperti hari istirahat mingguan, menjadi bagian hidup yang teratur dalam agama Yahudi.”[7] Namun, melalui hari Sabat inilah agama Yahudi mengkhususkannya sebagai hari istirahat kepada Yahwe untuk mendengarkan Sabda-Nya.

Dari penanggalan agama Yahudi, hari Sabat sangatlah penting dalam mengenangkan kisah penciptaan dunia yang dilakukan oleh Allah dan juga yang berfungsi dalam sosial-ekonomi serta sebagai kenangan pembebasan dari perbudakan di Mesir. Hari Sabat diindahkan dan ditaati oleh agama Yahudi sebagai tanda ikatan perjanjian dengan Yahwe. Di samping hari Sabat sebagai hari istirahat bermaksud berhenti dari segala pekerjaan sehingga agama Yahudi pun memandang hari itu sebagai: “Hari perhimpunan suci bagi mereka dengan tujuan menghormati Allah” (Im. 23:3). Penghormatan agama Yahudi terhadap hari Sabat, biasanya pada hari tersebut mereka berkumpul di dalam Kanisah di Yerusalem untuk mempersembahkan kurban-kurban khusus (bdk. Bil. 28:9-10). Hal ini nampak jelas, di mana-mana didirikan Sinagoga untuk Ibadat Sabda dalam bentuk perayaan yang lebih terarah dengan mendengarkan bacaan dari Kitab Taurat dan Kitab para nabi.

Setelah menghadiri Ibadat Sabda di Sinagoga sebagaimana kebiasaan orang Yahudi pada hari Sabat, mereka melanjutkan Ibadat itu di dalam rumah keluarga masing-masing untuk menghayati iman sepanjang pekan dengan penuh semangat. Selain bentuk Ibadat yang dilanjutkan dalam keluarga masing-masing, orang Yahudi juga menghayati imannya dalam bentuk persekutuan antara satu dengan yang lain dan pola hidup seperti itu justru mempererat hubungan kebersamaan mereka dalam lingkungan hidup dan masyarakat setempat. Ternyata, perayaan hari Sabat amat berpengaruh dalam seluruh sendi kehidupan agama Yahudi.[8]

2.2.  Hari Minggu bagi Orang Kristen

Hari Minggu berasal dari bahasa Latin ‘Dies Dominica’ dan dalam bahasa Portugis dikenal ‘Dominggo’ artinya hari Tuhan. Dari penjelasan arti hari Minggu dalam dua bahasa tersebut memuat makna yang sama yakni hari Tuhan. Apabila semua umat beriman memahami arti terdalam dari hari Minggu sebagai hari Tuhan maka akan diwujudkan dalam kesaksian hidup. Hari Minggu sebagai hari Tuhan bagi umat beriman masih dipahami hanya sekadar hari untuk lepas dari berbagai jenis pekerjaan tanpa memahami bagaimana memaknai hari Minggu itu sebagai hari Tuhan. Inti pemahaman tentang hari Minggu berdasarkan pengalaman hidup para rasul, berawal pada hari kebangkitan Kristus sendiri. Kebangkitan Kristus dari antara orang mati merupakan pusat iman umat beriman yang dirayakan dalam misteri Paskah dan sekaligus menunjuk pada hari penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus kepada umat-Nya di mana pada setiap hari kedelapan atau hari pertama dalam pekan yang disebut hari Minggu sebagai hari Tuhan.[9]

Gereja menginginkan agar pada hari Minggu umat beriman berkumpul baik untuk mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kemuliaan Yesus Kristus sambil mendengarkan Sabda Allah dan berpartisipasi dalam perayaan liturgi dengan bersyukur kepada Allah yang berkat kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Perayaan hari Minggu merupakan tindakan umat beriman yang selalu dihormati dalam hidup menggereja. Dengan tindakan itu, maka mengingat kembali sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus di tengah-tengah hidup sekarang ini.[10]

Gereja melanjutkan tradisi para Rasul tersebut melalui perayaan-perayaan yang menghadirkan Tuhan. Demikian pula jawaban para martir seperti yang dikutip dalam Ensiklopedi Gereja: “Tanpa merayakan hari Tuhan kami tidak dapat hidup”[11] terhadap Kekaisaran Romawi yang selalu melarang perayaan liturgi pada hari Minggu. Oleh karena itu, umat beriman berkewajiban untuk ikut serta khususnya dalam perayaan Ekaristi, dan Gereja mendorong orang yang malas seharusnya mengikuti undangan dan perjamuan Tuhan (bdk. Luk. 14:15-24). Tujuan menghadiri undangan dan perjamuan Tuhan tidak lain dari “Berkumpul untuk berdoa bersama dan saling meneguhkan dalam iman.”[12] Tujuan inilah merupakan penghayatan iman melalui persekutuan yang dilakukan umat beriman dengan tidak hanya sekadar asal-asalan melainkan wujud konkret dengan menghasilkan buah yang baik dan sekaligus menjadi harapan Gereja secara bersama.

2.3.  Hari Minggu merupakan Penyempurnaan Hari Sabat

Pada dasarnya, sebagian umat beriman memahami bahwa hari Minggu sama dengan hari Sabat. Akan tetapi, hari Sabat lebih dilihat sebagai hari istirahat atau berhenti dari pekerjaan sedangkan hari Minggu lebih pada mengenangkan hari kebangkitan Kristus dari antara orang mati sebagai ciptaan baru. Demikian diungkapkan Santo Yustinus yang dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik: “Pada hari Minggu kami semua berkumpul, karena itulah hari pertama, padanya Allah telah menarik zat perdana dari kegelapan dan telah menciptakan dunia, dan karena Yesus Kristus, Penebus kita telah bangkit dari antara orang mati pada hari ini”.[13] Sikap Santo Yustinus menunjukkan makna iman melalui persekutuan hidup umat beriman untuk menjalankannya pada tiap-tiap hari Minggu.

Dalam buku Katekismus Gereja Katolik ditegaskan perbedaan makna hari Minggu dengan hari Sabat;

Hari Minggu jelas berbeda dari hari Sabat, sebagai gantinya ia – dalam memenuhi perintah hari Sabat – dirayakan oleh orang Kristen setiap Minggu pada hari sesudah hari Sabat. Dalam Paska Kristus, hari Minggu memenuhi arti rohani dari hari Sabat Yahudi dan memberitakan istirahat manusia abadi di dalam Allah. Tatanan hukum mempersiapkan misteri Kristus dan ritus-ritusnya menunjukkan lebih dahulu kehidupan Kristus.[14]

Kebiasaan berkumpul umat beriman ini sudah berlaku sejak zaman para rasul dan dari tradisi yang baik inilah mewarnai seluruh kehidupan umat beriman hingga saat ini. Umat beriman merasa wajib ikut serta dalam beribadat setiap hari Minggu. Landasan yang paling kuat adalah Yesus sendiri yang menjadi kurban agung untuk menyelamatkan manusia dari dosa dengan wafat di kayu salib. Surat kepada orang Ibrani menasihati umat beriman agar: “Jangan kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan Ibadat kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati” (Ibr. 10:25).

Hari Minggu merupakan hari yang harus dijadikan suci dengan kegiatan cinta kasih melalui berbuat amal kepada sesama yang penuh kepedulian dan keprihatinan seraya meluangkan waktu untuk keluarga dan para kerabat sampai kepada orang-orang sakit, kaum lemah dan para lanjut usia. Adanya hari Tuhan memungkinkan semua orang memiliki waktu istirahat dan waktu senggang yang cukup untuk merawat kehidupan keluarganya, kultural, sosial, dan keagamaan. Dengan demikian, hari Minggu juga dipandang sebagai waktu yang cocok untuk refleksi, hening dan memacu pertumbuhan serta perkembangan iman dari kedalaman kehidupan batiniah umat beriman yang akan diwujudkan dalam kehidupan konkret.[15]

Urgensi yang dapat dipahami dalam memaknai hari Minggu, terungkap bahwa: “Pada hari Minggu hendaknya umat beriman tidak melakukan pekerjaan atau kegiatan yang merintangi Ibadat yang harus dipersembahkan kepada Tuhan atau merintangi kegembiraan hari Tuhan.”[16] Dengan kata lain, kebutuhan-kebutuhan dan pelayanan keluarga yang teramat penting bagi masyarakat merupakan alasan untuk membebaskan diri  dari kewajiban istirahat pada hari Minggu sehingga hal-hal ini tidak boleh menciptakan kebiasaan yang merugikan agama, kehidupan keluarga atau kesehatan.[17]

2.4.  Pandangan Kitab Suci tentang Hari Tuhan

2.4.1Perjanjian Lama

Perjanjian Lama merupakan dasar pemahaman umat beriman tentang hari Tuhan. Hari Tuhan lebih dilihat sebagai hari yang selalu dinanti-nantikan oleh umat Tuhan pada saat itu: “Merataplah, sebab hari Tuhan sudah dekat, datangnya sebagai pemusnahan dari yang Mahakuasa” (Yes. 13:6; bdk. Yl. 1:15). Dalam Kitab Yesaya menekankan bahwa hari Tuhan merupakan hari yang datang bagi umat manusia untuk memunahkan segala dosa manusia; “Sungguh, hari Tuhan datang dengan kebengisan, dengan gemas dan dengan murka yang menyala-nyala, untuk membuat bumi menjadi sunyi sepi dan untuk memunahkan dari padanya orang-orang yang berdosa” (13:9). Meskipun dalam tradisi agama Israel, Sabat merupakan motivasi dasar meniru pola kerja Allah untuk beristirahat pada hari ketujuh sesuai dengan Perintah Allah ketiga “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat, enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan Allahmu” (Kel. 20: 8-11).

Kedatangan hari Tuhan, sebenarnya telah memberi penyelamatan yang hebat dan sangat dahsyat kepada umat Israel melalui pembebasan dari bangsa Mesir sehingga peristiwa tersebut dapat dilalui dengan pedang datang atas Mesir dan bahkan hari itu tidak ada yang bisa menahannya (bdk. Yeh. 30:1-4; dan bdk. Yl. 2:11, 31). Dengan besarnya kasih Allah bagi manusia, Ia mau mengundang umat-Nya untuk hadir di hadapan-Nya, “Berdiam dirilah di hadapan Tuhan Allah! Sebab hari Tuhan sudah dekat. Sungguh Tuhan telah menyediakan perjamuan korban dan telah menguduskan para undangan-Nya” (Zef. 1:7). Dari pemahaman Kitab Perjanjian Lama tersebut lebih menunjukkan kepada umat beriman suatu sikap dalam masa penantian dan persiapan diri sebelum datangnya hari Tuhan. Sikap yang dimaksud adalah merupakan sikap batiniah yang bersih dan suci untuk menyambut kedatangan hari yang dahsyat yaitu hari Tuhan.

2.4.2. Perjanjian Baru

Kuduskanlah hari Tuhan merupakan perintah Allah ketiga yang diwarisi kepada umat beriman. Dalam tradisi kekristenan, muncullah peralihan hari Sabat ke hari kebangkitan Yesus Kristus dan kelahiran baru sehingga pada saat itu perayaan hari Tuhan dengan tidak melarang orang untuk bekerja dan berbuat baik. Hari Tuhan lebih dilihat pada hari kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati yang membawa penebusan dan keselamatan yang kekal bagi umat-Nya. Penegasan Yesus akan hari Sabat bukan untuk meniadakannya melainkan Ia mengkritik bahwa hari Sabat begitu banyak peraturan yang harus ditaati, misalnya mengatur jalan sampai berapa langkah, tidak boleh memasak dan bahkan tidak boleh menyembuhkan orang sakit yang sangat membutuhkan pertolongan. Dengan demikian, hari Sabat bukannya sebagai saat pembebasan dan istirahat, tetapi justru menjadi beban yang membelenggu dan menindas manusia. Dari situasi itulah, Tuhan Yesus hendak mengajarkan hakekat yang benar tentang hari Sabat. Tuhan Yesus ingin membaharui hal yang demikian dengan mengembalikan Sabat pada motivasi awalnya yakni sebagai hari Tuhan menuju kepada pembebasan bagi orang yang membutuhkan pertolongan seperti orang sakit.[18]

Berdasarkan pemahaman dari Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus pun menegaskan tentang makna hari Sabat orang Yahudi: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Mrk. 2:27-28). Perjanjian Baru yang berbicara tentang hari Tuhan akan dibandingkan pula dengan Perjanjian Lama yang lebih memfokuskan sikap umat beriman untuk menyambut kebangkitan Kristus yang tidak disangka oleh para rasul seperti yang sering diungkapkan Yesus ketika mereka masih bersama-sama dan begitu pula yang telah dinubuatkan sebelumnya dalam Perjanjian Lama. Dalam surat rasul Paulus kepada orang Ibrani menegaskan “Supaya selalu teguh dalam pengharapan sesuai janji Kristus untuk saling memperhatikan, mendorong untuk berbuat kasih dan dalam pekerjaan yang baik sehingga tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan Ibadat seperti yang telah dibiasakan oleh orang-orang sebelumnya dengan penuh semangat menjelang hari Tuhan yang sudah mendekat” (Ibr. 10:23-25 dan bdk. 1Kor. 1:8). Umat beriman diajak dan didorong untuk bersekutu dalam merayakan kebangkitan Kristus yang dirayakan pada hari Minggu dengan perlu kesiapan iman dan pertobatan bagi umat beriman yang sering disebut “Berjaga-jagalah sebelum datangnya hari Tuhan” (Luk. 21:34).

2.5.  Ajaran Gereja tentang Hari Tuhan

Hari Tuhan adalah hari pembebasan manusia.[19] Dalam melaksanaan Ibadat ilahi secara penuh setiap hari Minggu, umat beriman mampu membangun dan membina relasi dengan Allah. Karya penebusan dan pemuliaan Allah yang sempurna telah dialami dan diterima oleh umat beriman di dalam kasih Allah. Hal ini diawali dengan karya agung Allah di tengah umat Perjanjian Lama sehingga karya itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan melalui misteri Paskah dengan sengsara-Nya yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan. Kristus menghancurkan maut dengan wafat-Nya, dan membangun kembali hidup yang baru sebagai puncak dari iman umat yang diperoleh dengan kebangkitan-Nya.[20]

Adapun yang menjadi tugas Gereja sebagai umat beriman yakni “Sekali seminggu, pada hari yang disebut hari Tuhan, Gereja mengenangkan kebangkitan Tuhan.”[21] Dalam kegiatan ini, umat beriman mengambil bagian untuk menghayati Sabda Allah sebagai sumber kehidupan yang ilahi. Demikian ungkapan Santo Hironimus dalam buku KGK:

Hari Tuhan, hari kebangkitan, hari umat Kristen, adalah hari kita. Ia dinamakan hari Tuhan, karena pada hari ini Tuhan telah naik kepada Bapa sebagai pemenang. Kalau orang menamakannya hari matahari, kita pun senang mengakuinya, karena hari ini terang dunia telah terbit, hari ini matahari keadilan telah kelihatan, yang sinar-sinarnya membawa keselamatan.[22]

Oleh karena itu, tidak salah lagi bila hari Minggu adalah hari di mana umat beriman berkumpul untuk perayaan liturgi,[23] sehingga Gereja sepakat dalam perayaan “Paskah Kristen harus dirayakan pada Minggu setelah bulan purnama pertama di musim semi”[24] dan inilah hari yang dijadikan Tuhan, “Marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya,” (Mzm. 118:24). Hari kebangkitan sebagai puncak iman Kristiani merupakan ciptaan baru yang dialami oleh umat beriman, karena kebangkitan-Nya menunjuk pada hari Minggu yang disebut hari Tuhan “Yesus telah bangkit dari antara orang mati pada hari pertama Minggu itu” (Mat. 28:1; Mrk. 16:2; Luk. 24:1; Yoh. 20:1). Hari pertama sebagai hari kebangkitan Kristus mengingatkan seluruh umat beriman akan penciptaan pertama. Namun, sesudah hari Sabat atau yang disebut hari kedelapan itu menunjuk pada ciptaan baru yang datang dengan kebangkitan Kristus. Catatan penting bagi umat beriman adalah hari itu telah menjadi hari segala hari dan pesta segala pesta yaitu hari Tuhan.[25]

3.  Makna Hari Minggu sebagai Hari Tuhan atas Perintah Allah Ketiga

3.1.  Sejarah Hari Minggu

Perintah menguduskan hari Sabat adalah meniru pola kerja Allah yang menciptakan alam semesta selama enam hari dan pada hari ketujuh Ia beristirahat. Dengan mengikuti pola kerja Allah, Sabat memiliki makna di mana manusia dipanggil untuk hidup dan bekerja seperti Allah dan sekaligus mengenangkan pengalaman pembebasan yang telah dialami bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Tujuan akhir hari Sabat adalah manusia dan binatang harus istirahat. Hari Sabat mengungkapkan prinsip penyempurnaan yang ditunjukkan Allah dalam karya penciptaan-Nya. Beristirahat pada hari ketujuh berarti manusia diajak untuk merenungkan seluruh karya dan aktivitasnya dengan menyadarkan manusia tidak cukup hanya mengandalkan usahanya sendiri. Umat beriman hendaknya menanamkan tradisi hari Minggu yang dimulai dalam diri sendiri, keluarga hingga masyarakat dengan mengutamakan keikutsertaan dalam Ibadat dan Ekaristi serta dilanjutkan dengan berbuat baik kepada sesama.[26]

Kuduskanlah hari Tuhan memiliki perkembangan makna untuk dihayati oleh umat beriman. Selain terlibat pada perayaan Ibadat dan Ekaristi, hari Minggu sebagai hari Tuhan mendapat makna yang istimewa untuk memperhatikan hidup dan keselamatan manusia. Oleh karena itu, sejarah hari Minggu dimulai dan diawali dengan peristiwa kebangkitan Yesus Kristus dan perkembangan selanjutnya mempunyai bentuk yang tetap sebagai hari Minggu, hari khusus umat beriman untuk menyembah dan memuji Tuhan.[27]

Kitab Perjanjian Baru memperlihatkan sejumlah bukti mengenai persekutuan liturgi umat beriman yang berfokus pada “Perayaan perjamuan Tuhan dengan berkumpul bersama” (1Kor. 11:20-34). Hari Minggu sebagai pesta umat beriman telah tumbuh dan berkembang mulai pada perayaan Paskah dan Pentakosta Yahudi di mana para rasul dan para murid Yesus menghubungkannya pada waktu yang sama dengan kenangan akan misteri-misteri Kristus sebagai penyelamat dunia. Tradisi para rasul tersebut tidak hanya berlaku pada saat itu, namun umat beriman melanjutkannya dengan berpegang teguh merayakan pesta kebangkitan Yesus Kristus setiap hari Minggu.[28]

Dari pendasaran di atas, dapat ditandaskan bahwa perayaan hari Minggu seyogianya tidak berlalu begitu saja di tengah-tengah umat beriman, tetapi hendaknya hari itu diamalkan dengan sepenuh hati agar “Perlu semakin ditampilkan arti perayaan hari Minggu sebagai Paskah mingguan.”[29] Oleh karena perkembangan sejarah, arti perayaan hari Minggu membawakan suatu evolusi yang amat fundamental tentang penebusan bagi umat beriman melalui Kristus. Dengan berbagai kesaksian hidup dalam iman kepada Kristus menunjukkan arti Paskah dengan kemuliaan Allah dalam karya-Nya di dalam Gereja sendiri karena “Kesaksian itu telah diawali dan diwarnai oleh Maria, para Kudus dan para Martir.”[30]

Paskah Kristen merupakan kelengkapan peristiwa kebangkitan Kristus dari antara orang mati, penampakan Diri Yesus kepada para murid-Nya, makan bersama dengan para murid-Nya, anugerah Roh Kudus dan juga tugas perutusan Gereja. Peristiwa ini yang selalu dikenangkan oleh umat beriman sebagai pusat dari sejarah keselamatan yang mendapat perhatian pada hari pertama dalam pekan. Bosco da Cunha dalam bukunya Memaknai Perayaan Liturgi Sepanjang Satu Tahun menegaskan: “Keseluruhan misteri yang selanjutnya dirayakan setiap hari Minggu telah hadir pada hari Paskah, karena itu hari Minggu tak lain dan tak bukan merupakan perayaan mingguan misteri Paskah tersebut.”[31] Demikian juga dalam Kisah para Rasul diungkapkan bahwa “Pada hari pertama dalam seminggu itu kami berkumpul untuk memecahkan roti” (Kis. 20:7-11). Perkumpulan itu diadakan untuk menunjukkan persekutuan umat beriman di hadapan Allah  “Agar menjadi sehati sejiwa dalam kasih.”[32]

3.2.  Teologi tentang Hari Minggu

3.2.1.  Hari Kebangkitan

Teologi hari Minggu menunjuk pada peristiwa kebangkitan Yesus Kristus sebagai jantung perayaan. Namun, hari Minggu juga mengandung aspek lain yang ditandai dengan peristiwa keselamatan bagi umat beriman. Hari Minggu disebut sebagai hari Tuhan karena pada hari itu Yesus Kristus bangkit dari antara orang mati, sehingga “Orang beriman melihat dan mengimani peristiwa ini sebagai campur tangan Allah yang besar dalam hidup manusia dan sebagai mukjizat yang paling agung.”[33] Pengalaman iman ini dipegang dan diwujudnyatakan oleh umat beriman sekali seminggu tepat pada hari Minggu dengan hati yang penuh gembira ria, sebab: “Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh dan aku mendengar dari belakangku suatu suara yang nyaring, seperti bunyi sangkakala” (Why. 1:10).

Dalam merayakan kebangkitan Kristus setiap hari Minggu, umat beriman berkesempatan untuk meneguhkan imannya kepada Kristus karena “Hari Minggu merupakan sakramen perjumpaan mingguan dengan Kristus yang bangkit dan menampakkan Diri karena kehadiran-Nya di tengah umat beriman yang berhimpun bersama.”[34] Melalui perayaan kebangkitan Kristus “Umat beriman dikumpulkan dan dipersatukan oleh-Nya yang tercerai-berai” (Yoh. 11:52). Demikian halnya umat beriman menghadirkan kembali peristiwa Tuhan yang bangkit, mengenangkan akan masa lampau sejarah keselamatan bangsa Israel dan bahkan hingga saat ini umat mengalami pembebasan  dari berbagai perbudakan dan penjajahan serta menghadirkan dimensi masa depan yang bercorak eskatologis menuju kepada kehidupan yang abadi dan kekal.[35] Dengan kata lain, perayaan hari Minggu menampilkan “Kehadiran Tuhan yang telah bangkit di dalam Gereja-Nya dalam bentuk misteri.”[36] Serpulus Tano Simamora memaparkan lebih lanjut bahwa:

Kata kunci dalam teologi kebangkitan ialah peralihan, perubahan dari kematian ke kehidupan. Peralihan dan perubahan itu bukan melulu soal psikologis, tetapi menyangkut seluruh diri manusia yang dikuasai oleh Roh yang datang dari luar, yakni Roh Yesus yang bangkit dan tetap hidup.[37]

3.2.2.  Hari Roh Kudus

Iman akan Kristus merupakan anugerah dari Roh Kudus yang meyakinkan umat beriman untuk “Tidak ada seorang pun yang dapat mengakui Yesus adalah Tuhan selain oleh Roh Kudus” (1Kor. 12:3). Berkat kehadiran Roh Kudus, umat beriman diantar masuk ke pengenalan akan kebenaran (bdk. Yoh. 16:12). Peranan Roh Kudus sangatlah penting karena, “Roh Kudus adalah pribadi yang akan menolong dan menghibur umat beriman.”[38] Dengan demikian, umat beriman semakin menyadari akan hal itu yang selalu memberi penolong, penghibur serta yang menyertai dan diam di antara umat beriman (bdk. Yoh. 14:16-17).

Roh Kudus adalah pelaku utama tugas perutusan.[39] Para Rasul telah menerima tugas perutusan dari Kristus yang bangkit melalui tuntunan Roh Kudus: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku …Dan ketahuilah Aku menyertai kamu sampai akhir zaman” (bdk. Mat. 28:18-20; Mrk. 16:15-18; Luk. 24:46-49; Yoh. 20:21-23). Sangat jelas sebagaimana dikatakan “Roh Kudus adalah pendamping umat beriman dalam seluruh kehidupannya.”[40]

Hari Minggu adalah waktu Roh Kudus menciptakan berbagai kondisi untuk menampung dan meresapkan kabar baik dari Allah di dalam misteri kebangkitan Kristus. Kehadiran dan kegiatan Roh Kudus bersifat universal. Ia hadir dan berkarya baik secara individu maupun dalam diri manusia-manusia dari berbagai bangsa untuk membantu umat beriman merenungkan kegiatan dan karya Allah di setiap waktu dan di mana saja. Pada hari Minggu, umat beiman dilimpahi dan dicurahi kekuatan Roh Kudus sekaligus diutus ke tengah-tengah dunia dalam rangka mewartakan karya keselamatan Allah dengan penuh semangat kenabian melalui persekutuan hidup dalam Allah Tritunggal Mahakudus.[41]

3.2.3.  Hari Gereja

Hari Tuhan yang selalu dirayakan setiap hari Minggu oleh umat beriman merupakan hari Gereja. Umat beriman berkumpul bersama untuk berdoa, bersyukur dan mendengarkan Sabda Allah di masing-masing tempat, baik di lingkungan, di stasi maupun di paroki. Perayaan yang biasa dilakukan seperti perayaan Ibadat Sabda dan Ekaristi tidak lepas dari kegembiraan Paskah untuk saling berbagi kepada sesama menuju persaudaraan yang sejati di dalam Kristus. Persekutuan itu akan mengandung makna penting bahwa “Umat beriman yang berhimpun bersama pada hari Minggu mengungkapkan arti terdalam dari keadaannya sebagai Gereja.”[42] Iman yang dimiliki tentu tidak hanya dikembangkan secara personalitas tetapi secara kelompok yang disebut persekutuan umat beriman yang saling bersama-sama menghadirkan Kristus.[43]

Beriman berarti percaya seperti yang Gereja percaya dan percaya menurut yang Kristus ajarkan.[44] Melalui himpunan perayaan umat beriman akan menanamkan iman yang kokoh kepada Kristus dengan mengenangkan peristiwa penyelamatan dari pada-Nya. Bosco da Cunha lebih lanjut menjelaskan “Pada hari Tuhan, Gereja mengungkapkan dirinya dan mewujudkan dirinya sebagai perhimpunan suci sekaligus juga merupakan hari pembentukan umat Allah berkat santapan Sabda dan santapan Tubuh dan Darah Kristus.”[45] Himpunan umat beriman selalu dipertahankan dalam kehidupan manusia terutama untuk berhimpun pada hari Minggu seperti yang terurai dalam Konsili Vatikan II mengatakan:

Umat beriman Kristiani, yang dihimpun dari segala bangsa dalam Gereja tidak membedakan dari orang-orang lain entah karena bentuk pemerintahan, entah karena bahasa mereka, entah karena tatanan politik kehidupan. Maka, hendaklah mereka dalam adat kebiasaan hidup bangsa mereka yang pantas hidup bagi Allah dan Kristus.[46]

3.2.4.  Hari Ekaristi

Ekaristi adalah ungkapan kelimpahan rahmat ilahi yang istimewa, yang menjangkau secara tak terbatas tiap keperluan dan tiap aspirasi manusia secara adil.[47] Perayaan Ekaristi mengingatkan kembali umat beriman akan kesatuannya dengan Kristus yang telah dimulai oleh para murid “Makan dan minum bersama-sama orang berdosa” (Luk. 5:30), demikian juga “Setelah hari malam, Yesus duduk makan bersama-sama dengan kedua belas murid itu” (Mat. 26:20). Di dalam Ekaristi umat beriman dituntun bertemu dengan Tuhan yang menjadi pusat hidup manusia untuk semakin merasa kuat dan bersatu dengan Tuhan serta saudara-saudari seiman karena “Ekaristi adalah masuk ke dalam liturgi surgawi”.[48] Ekaristi dipandang secara khusus sebagai puncak, sumber dan pusat kehadiran Gereja sangat memberi jaminan hidup yang kekal bagi umat beriman karena Yesus mengatakan: “Akulah roti hidup,” (Yoh. 6:35). Tugas Gereja adalah agar semua orang yang berhimpun, sehati dan sesuara memuliakan Tuhan di dalam Gereja dan mengambil bagian dalam kurban syukur pujian Tuhan dengan menimba kekuatan dengan sesama serta meneruskan karya penyelamatan itu di tengah masyarakat.

Para rasul dan umat Kristen perdana merayakan hari Minggu dengan berkumpul bersama untuk upacara pemecahan roti (bdk. Kis. 20:7). Perayaan Ekaristi adalah pusat kegiatan hari Minggu. Ekaristi pada hari Minggu, memang benar tidak berbeda dengan perayaan Ekaristi pada hari-hari biasa yang juga tidak diceraiberaikan dari hidup liturgis dan sakramental secara keseluruhan. Akan tetapi, penampilan Gereja yang sangat istimewa adalah terdapat dalam keikutsertaan penuh, aktif dan wajib pada hari Minggu karena dirayakan hari Kristus yang telah mengalahkan maut sehingga hidup Kristus dibagikan kepada umat beriman.[49] Sampai sekarang umat beriman berkumpul merayakan Ekaristi untuk bersyukur atas perbuatan-perbuatan Allah yang besar dalam hidup manusia, misalnya: “Sebagai hari Tuhan, hari berkumpul, hari perjamuan Kudus, diambil tanpa menunggu lama hari pertama dalam pekan, hari kebangkitan dan hari kemenangan Tuhan.”[50] Dengan mengandung arti yang sangat bermakna “Perayaan Ekaristi adalah ungkapan terpenting dari hidup beriman Kristiani.”[51]

3.2.5.  Hari Pembaptisan

Perjumpaan dengan Kristus yang bangkit menyadarkan setiap umat beriman akan dirinya sebagai putra pilihan Allah (bdk. Kis. 17:28), yang telah dilahirkan kembali dalam Roh Kudus berkat sakramen Pembaptisan (bdk. Ef. 1:13). Pembaptisan yang telah diterima oleh setiap orang sebagai titik pangkal untuk membangun hidup manusia sebagai manusia baru karena berasal dari Allah dan telah lahir dari Allah (bdk. Yoh. 1:12). Dengan demikian, “Orang datang untuk dibaptis dan untuk bertobat,”[52] sebagai wujud nyata menjadi pengikut Kristus.

Baptisan akan menyadarkan umat beriman akan kebangkitan yang dialami Kristus sekaligus menyatu dengan hidup bersama Allah Tritunggal. Dengan itu, ”Seorang terbaptis dipersatukan dengan meterai kekal ke dalam hidup Kristus senasib serta sewaris dengan Dia.”[53] Hari Minggu mendapat nilai tambahan dan plus sebab dirayakan setiap umat beriman yang karena sakramen pembaptisan wajib memperbaharui diri dan meningkatkan hidupnya yang luhur dan suci sebagai jawaban dari panggilannya itu. Untuk menjadi keluarga Allah dalam kehidupan umat beriman, maka harus dipahami “Sakramen Permandian mengakibatkan suatu kelahiran baru, menjadi anak Allah. Dengan mencurahkan Roh-Nya ke dalam hati umat beriman serta Tuhan menerima umat beriman ke dalam cinta-Nya.”[54]

3.2.6.  Hari Penciptaan Dunia Baru

Penciptaan dunia baru adalah berkaitan erat dengan misteri kebangkitan Kristus. Dengan menciptakan kembali dunia baru tersebut, Kristus memperbaharui lagi hidup manusia yang telah jatuh ke dalam dosa untuk membenahi dan memulihkan kembali serta mempersatukan seluruh alam ciptaan Allah; “Karena setiap manusia adalah orang berdosa, maka setiap orang membutuhkan penebusan dari dosa untuk dapat memperoleh keselamatan.”[55] Lebih lanjut Santo Gregorius yang dikutip dalam buku Bosco da Cunha berkata:

Yang berkenan di hati saya bukanlah hari sabat meskipun dirayakan dan dipadukan  hari istirahat bagi setiap orang. Saya lebih mengutamakan hari kedelapan, yakni awal dari suatu dunia yang baru. Itulah sebabnya kita merayakannya sebagai hari pesta penuh kegembiraan, justru karena pada hari kedelapan Kristus bangkit dari antara orang mati dan kemudian naik ke Surga setelah menampakkan diri-Nya.[56]

Pada hakekatnya umat beriman setiap kali disadarkan akan karya penciptaan yang kini pun berlangsung berkat misteri Paskah Kristus, sebab “Manusia sadar bahwa seluruh hidupnya, jiwa raganya ada di dalam tangan Tuhan. Tubuh manusia adalah buah karya sang Pencipta.”[57] Oleh karena itu, hari Minggu merupakan hari pembaharuan kembali segenap ciptaan yang diterangi oleh sang cahaya Kristus Tuhan. Peranan manusia begitu besar dalam menanggapi penciptaan dari Allah karena, “Manusia adalah makhluk yang struktur atau bangunannya begitu rupa sehingga ia terarah kepada perjumpaan dengan Allah.”[58]

3.2.7.  Hari Ekatologis

Perjumpaan dengan Kristus di dalam perayaan Ekaristi adalah tanda yang pasti tentang perjumpaan umat beriman dengan Dia pada akhir zaman. Untuk itu, hari Minggu kita merayakannya sebagai hari kedelapan yakni awal dari dunia baru sampai kedatangan kekal. Akhir zaman dimaknai umat beriman agar iman yang dimiliki bukan hanya kini dipertahankan, tetapi iman yang sampai kekal pun selalu dipertahankan sebagai warisan. Berkaitan dengan akhir zaman, A. Bakker berpendapat bahwa:

Pada akhir zaman, Yesus pemenang atas setan, dosa, dan maut akan kembali dengan kemuliaan untuk menyelesaikan karya penyelamatan-Nya. Penyelesaian karya penyelamatan-Nya akan terwujud dalam penampakkan diri Yesus yang mulia dan dalam pengadilan terakhir bagi semua manusia.[59]

Di dalam Gereja, hari Minggu menampilkan kehadiran Tuhan yang bangkit sekaligus sebagai tanda pengharapan dan penantian penuh kerinduan akan kedatangan  Kristus pada akhir zaman. Demikian rasul Paulus dan Yohanes yang dikutip dari Nico juga menegaskan “Ada wahyu yang akan datang, yakni pada saat kedatangan kembali Kristus pada akhir zaman,”[60] sehingga pada saat itu “kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya,” (1Yoh. 3:2). Menentukan kedatangan Kristus umat beriman perlu berjaga-jaga dengan mempersiapkan diri, sebab: “Sesudah pergolakan dunia berlalu, kedatangan Kristus dalam kemuliaan-Nya akan terjadi. Kemudian datang kemenangan Allah yang definitif pada akhir zaman dan menyusul pengadilan terakhir.”[61] Dengan demikian, tak heran jika para rasul dan para bapa Gereja “Selalu mengaitkan hari Minggu dan hidup beriman seluruhnya dengan hari kedatangan Kristus yang kedua.”[62]

3.3.  Makna Hari Minggu bagi Umat Beriman

Umat beriman tidak hanya mengakui imannya saja tetapi juga keikutsertaan untuk merayakannya pada hari Minggu. Bersatu dengan sesama sangat berharga dengan mengadakan perayaan bersama-sama dan berhenti sebentar untuk kemudian meneruskan perjalanan dengan kekuatan yang lebih besar. Tugas pelayanan yang diemban oleh umat beriman dikembangkan dan selalu dipertahankan karena, “Pada hari Minggu Gereja mewartakan kepada dunia Kabar Gembira dari Tuhan, Pencipta dan Penebus.”[63]

Umat beriman dikumpulkan oleh Allah di dalam gereja atau di rumah masing-masing untuk mengenangkan karya penyelamatan Kristus meskipun pada kesempatan suka ataupun duka, dalam kecemasan dan pengharapan. Keseluruhan pribadi umat beriman mengarahkannya kepada Tuhan pada perayaan yang dimaksud agar sukacita tetap hidup antara satu dengan yang lain (bdk. Kis. 2:46). Perkumpulan pada perayaan hari Tuhan senantiasa mengenangkan serta menghadirkan Kristus yang bangkit, “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Janji-Nya ini memberi pengharapan bagi umat beriman untuk melanjutkan pengharapan hidup menuju masa depan.[64]

4.  Kesimpulan

Dalam Gereja Katolik terdapat sepuluh perintah Allah. Kesepuluh perintah Allah tersebut merupakan pedoman hidup umat beriman dalam penziarahan di dunia ini. Mengikuti Yesus dituntut ketaatan dari setiap manusia agar menghayati perintah-perintah Allah khususnya kesepuluh firman (bdk. Kel. 34:28). Kesepuluh firman disebut juga dekalog. Dengan demikian, dekalog memiliki peranan penting bagi Gereja. Gereja, dalam kesetiaannya kepada Kitab Suci dan teladan Kristus, mengakui kepentingan paling dasar dan makna dekalog: orang-orang Kristen wajib menaatinya. Dari antara perintah itu salah satu perintah yang menunjuk kepada Allah adalah Perintah Allah ketiga yakni Kuduskanlah Hari Tuhan.

Pada hari Minggu, di seluruh penjuru dunia umat beriman Kristiani wajib merayakan hari Minggu sebagai hari Tuhan. Hari Minggu dirayakan sebagai hari Tuhan, karena berdasarkan tradisi para rasul yang berasal mula pada hari kebangkitan Kristus sendiri; “Dan pagi-pagi benar pada hari pertama Minggu itu, setelah matahari terbit, pergilah mereka ke kubur” (Mrk. 16:2). Dengan demikian, Gereja menetapkan bahwa perayaan misteri Paskah dirayakan sekali seminggu tepat pada hari Minggu yang disebut hari Tuhan. Pada hari Minggu seluruh umat beriman dipersatukan oleh Allah di dalam Kristus, berkumpul dengan saudara dan saudari seiman serta membuahkan dengan berbuat amal kasih kepada sesama demi mengenangkan hari kebangkitan Kristus.

Hari Minggu adalah hari kebangkitan Kristus, sedangkan hari Sabat lebih dilihat sebagai hari istirahat. Untuk itu, motivasi dasar dari hari Sabat adalah meniru pola kerja dari Allah sendiri. Allah telah bekerja selama enam hari dan pada hari ketujuh Ia beristirahat. Hari Sabat sangat berbeda dengan hari Minggu atau hari Tuhan, karena sesudah hari Sabat adalah hari Minggu yang melambangkan ciptaan baru dengan didahului oleh kebangkitan Kristus. Hari Minggu sebagai hari kebangkitan Kristus, Dia menyempurnakan kebenaran rohani hari Sabat Yahudi dan mewartakan istirahat abadi manusia dalam Allah. Dengan itu, umat beriman Kristiani menjaga kekudusan hari Minggu dengan berpartisipasi pada Ekaristi atau Ibadat Sabda yang akan dirayakan bersama, serta menghindari kegiatan-kegiatan yang menghalangi ibadah kepada Allah dan mengganggu suka cita hari Allah itu sendiri.

Hari Minggu sebagai hari Tuhan, sebaiknya harus dipahami secara benar dan lebih mendalam oleh umat beriman agar dalam pelaksanaannya lebih  dihayati dan dimaknai sebagai sebuah hari pembebasan yang memungkinkan untuk ambil bagian dalam “Suatu kumpulan pesta yang meriah dan jemaat anak-anak sulung yang namanya terdaftar di surga” (Ibr. 12:22-23), sehingga tidak disamakan begitu saja apa yang menjadi makna hari Sabat dengan hari Minggu sebagai hari Tuhan bagi umat beriman Kristiani. Seandainya umat beriman menyadari dan memahami bahwa hari Minggu dikhususkan bagi Tuhan tentu, akan memberikan diri dan waktu yang seutuhnya untuk mendengarkan Tuhan melalui Sabda-Nya.

Pada hari Minggu, umat beriman tidak dilarang untuk bekerja dan berbuat baik bagi orang lain. Dengan kata lain, setelah perayaan ibadat maka pekerjaan dalam keluarga dan komunitas kembali berjalan dengan baik. Hal ini merupakan pembebasan bagi umat beriman dari aturan-aturan yang ingin menindas dan membelenggu. Pekerjaan-pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang sesuai dengan kehendak Allah dalam kehidupan manusia dengan mengamalkan cinta kasih yang sejati, dan menyumbangkan kegiatannya demi penyempurnaan ciptaan yang ilahi. Di samping itu, hari Minggu hari keluarga saat yang tepat untuk mengunjungi sanak saudara, memberi perhatian kepada kaum lanjut usia serta orang-orang sakit yang di dalamnya ada nilai kebersamaan dalam menimba pengalaman hidup di dunia ini.

 *) Gizakiama Hulu

Magister Agama dari STP IPI Malang, mengajar Katekese Umat dan Statistik di STP Dian Mandala Gunungsitoli – Nias

                                                                                                 

 

Daftar Pustaka

Bakker, A. Ajaran Iman Katolik 1 untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

                         . Ajaran Iman Katolik 2 untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Cunha, Bosco da. Tahun Liturgi Gereja Sejarah-Teologi-Pastoral. Malang: STFT Widya Sasana, 1988.

                         . Memaknai Perayaan Liturgi Sepanjang Satu Tahun. Jakarta: Obor, 2011.

Cunha, Bosco da dan dan Lazarus. Pengantar Teologi. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia, 2011.

Chang, William. Menggali Butir-Butir Keutamaan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Dister, Nico Syukur. Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1991.

                         . Teologi Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan tentang Teologi Pencipta. ([tanpa kota]: Kanisius, 2004.

Doornik, P.N.J. Van. Di mana Hal-hal itu tertulis dalam Kitab Suci. Diterjemahkan oleh E. Siswanto. Malang: Dioma, 2001.

Hahn, Scott W. Teologi Alkitabiah Paus Benediktus XVI. Diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata. Jakarta: Fidei Press, 2011.

Hayon, Nikolaus. Capita Selecta. Maumere: STFK Ledalero, 1993.

Heuken, Adolf. Ensiklopedi Gereja. Jilid V. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.

                         . Ensiklopedi Gereja. Jilid VII. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.

Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara. Katekismus Gereja Katolik. Diterjemahkan oleh Herman Embuiru. Ende: Nusa Indah, 1995.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius-Obor, 1996.

                         . Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Diterjemahkan oleh Harry Susanto. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993.

Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan dan Paulus Budi Kleden. Maumere-Flores: Ledalero, 2013.

Kewuel, Hipolitus K., dan Gabriel Sunyoto (ed.). 12 Pintu Evangelisasi: Menebar Garam di Atas Pelangi. Yogyakarta: Wina Press, 2010.

Mariyanto, Ernest. Kamus Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Purnomo, Aloys Budi. Mohon Roh Kudus. Medan: Bina Media, 2001.

Simamora, Serpulus Tano. Yesus Sebuah Diskusi Kristologis. Medan: Bina Media Perintis, 2005.

Sinaga, Anicetus B. Imam Triniter Pedoman Hidup Imam. Jakarta: Obor, 2007.

Tarpin, Laurentius. Moral Hukum Allah. Disadur oleh Cornelius Fallo. Diktat Moral Dekalog. Gunungsitoli: STP Dian Mandala, 2014.

Tim Karya Kepausan Indonesia. Materi Pembinaan Animator-Animatris Misioner. Jakarta: Karya Kepausan Indonesia, 2010.

 

[1]Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi (Yogyakarta: Kanisius-Obor, 1996), hlm. 45.

[2]Hari kedelapan artinya hari sesudah hari ketujuh, namun hari kedelapan itu disebut juga sebagai hari pertama dalam setiap Minggu.

[3]Konsili Vatikan II, “Tentang Liturgi Suci” (SC), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 106. Selanjutnya disingkat SC dan diikuti no.

[4]Konsili Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” (LG), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 34. Selanjutnya disingkat LG dan diikuti no.

[5]Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid V (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 230.

[6]Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid VII (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 169.

[7]William Chang, Menggali Butir-Butir Keutamaan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 139.

[8]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan Liturgi Sepanjang Satu Tahun (Jakarta: Obor, 2011), hlm. 13-15.

[9]Ernest Mariyanto, Kamus Liturgi Sederhana (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 67.

[10]Nikolaus Hayon, Capita Selecta (Maumere: STFK Ledalero, 1993), hlm. 1.

[11]Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid V…, hlm. 230.

[12]Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik…, hlm. 49.

[13]Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Nusa Indah, 1995), no. 2174. Selanjutnya disingkat KGK dan diikuti no.

[14]KGK., no. 2175.

[15]Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia Dewasa Ini” (GS), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 67. Selanjutnya disingkat GS dan diikuti no.

[16]KGK., no. 2185.

[17]Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, diterjemahkan oleh Yosef  Maria Florisan dan Paulus Budi Kleden (Maumere-Flores: Ledalero, 2013), no. 284-285.

[18]Laurentius Tarpin, Moral Hukum Allah, disadur oleh Cornelius Fallo, Moral Dekalog, (Gunungsitoli: STP Dian Mandala, 2014), hlm. 18-19. (Diktat).

[19]Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik…, hlm. 46.

[20]SC., no. 5.

[21]SC., no. 102.

[22]KGK., no. 1166.

[23]KGK., no. 1167.

[24]KGK., no. 1170.

[25]KGK., no. 2174.

[26]Laurentius Tarpin, Moral Hukum Allah, disadur oleh Cornelius Fallo, Moral Dekalog…, hlm. 4.

[27]Ibid., hlm. 19.

[28]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 34.

[29]Bosco da Cunha, Tahun Liturgi Gereja Sejarah-Teologi-Pastoral (Malang: STFT Widya Sasana, 1988), hlm. 12.

[30]Ibid.

[31]Ibid., hlm. 14.

[32]Hipolitus K. Kewuel dan Gabriel Sunyoto (ed.), 12 Pintu Evangelisasi: Menebar Garam di Atas Pelangi (Yogyakarta: Wina Press, 2010), hlm. 203.

[33]Serpulus Tano Simamora, Yesus Sebuah Diskusi Kristologis (Medan: Bina Media Perintis, 2005), hlm. 96.

[34]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 39.

[35]William Chang, Menggali Butir-Butir…, hlm. 140.

[36]Bosco da Cunha, Tahun Liturgi…, hlm. 17.

[37]Serpulus Tano Simamora, Yesus Sebuah…, hlm. 104.

[38]Aloys Budi Purnomo, Mohon Roh Kudus (Medan: Bina Media, 2001), hlm. 14.

[39]Tim Karya Kepausan Indonesia, Materi Pembinaan Animator-Animatris Misioner (Jakarta: Karya Kepausan Indonesia, 2010), hlm. 45.

[40]Aloys Budi Purnomo, Mohon Roh…, hlm. 14.

[41]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 40-41.

[42]Ibid.

[43]Bosco da Cunha, Tahun Liturgi…, hlm. 17.

[44]Bosco da Cunha dan Lazarus, Pengantar Teologi (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia, 2011), hlm. 1.8.

[45]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 41.

[46]Konsili Vatikan II, “Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja” (AG), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 15. Selanjutnya disingkat AG dan diikuti no.

[47]William Chang, Menggali Butir-Butir…, hlm. 136.

[48]Scott W. Hahn, Teologi Alkitabiah Paus Benediktus XVI, diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata (Jakarta: Fidei Press, 2011), hlm. 218.

[49]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 42.

[50]P.N.J. Van Doornik, Di mana Hal-hal itu tertulis dalam Kitab Suci, diterjemahkan oleh E. Siswanto (Malang: Dioma, 2001), hlm. 166.

[51]Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 64.

[52]Serpus Tano Simamora, Yesus Sebuah…, hlm. 34.

[53]Anicetus B.Sinaga, Imam Triniter Pedoman Hidup Imam (Jakarta: Obor, 2007), hlm. 171.

[54]A. Bakker, Ajaran Iman Katolik 2 untuk Mahasiswa (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 41.

[55]A. Bakker, Ajaran Iman Katolik 1 untuk Mahasiswa (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 28.

[56]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 43.

[57]A. Bakker, Ajaran Iman Katolik 1…, hlm. 24.

[58]Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan tentang Teologi Pencipta ([tanpa kota]: Kanisius, 2004), hlm. 98.

[59]A. Bakker, Ajaran Iman Katolik 2…, hlm. 133.

[60]Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi…, hlm. 125.

[61]Konferensi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Harry Susanto (Yogyakarta: Kanisius, 2009), no. 134.

[62]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 44.

[63]William Chang, Menggali Butir-Butir…, hlm. 141.

[64]Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi…, hlm. 57.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *