𝗦𝗘𝗡𝗬𝗨𝗠, 𝗦𝗔𝗣𝗔 𝗗𝗔𝗡 𝗦𝗔𝗟𝗔𝗠 (𝟯𝗦): 𝗛𝗜𝗟𝗔𝗡𝗚 𝗞𝗔𝗥𝗘𝗡𝗔 𝗣𝗘𝗥𝗞𝗘𝗠𝗕𝗔𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗩𝗜𝗥𝗨𝗦 𝗞𝗢𝗥𝗢𝗡𝗔

Kat. Ingatan Sihura, S.Ag.

Sebut saja virus korona adalah virus yang mematikan. Memang sebutan tersebut benar adanya. Orang yang terjangkit virus korona, dapat meninggal dalam kurun waktu yang sangat singkat. Dengan keadaan seperti itu, semua orang menjadi was-was akan penularan penyakit tersebut kepadanya.

Untuk memutus penyebarannya, pemerintah baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah menganjurkan masyarakat untuk selalu waspada akan penyebaran virus korona ini. Salah satu himbauan pemerintah untuk memutus penyebaran virus korona adalah dengan selalu mengenakan masker penutup mulut dan menghindari kontak fisik kepada orang lain terlebih yang baru datang dari luar kota.

Himbauan dari pemerintah pada akhirnya menjadi tren yang dengan cepat berkembang di tengah masyarakat. Tren ini pun dapat bermakna baik juga sekaligus kurang baik. Menjadi tren yang baik adalah untuk memutus perkembangan virus korona. Akan tetapi, menjadi tren yang kurang baik ketika senyum, sapa dan salam yang selama ini menjadi budaya bersama menjadi hilang! Orang-orang mulai saling antisipasi satu sama lain.

Menggunakan Masker menghilangkan Budaya Senyum dan Sapa

Menggunakan masker dalam perjalanan sangatlah membantu untuk menghindari debu yang beterbangan. Namun, menggunakan masker ketika berjumpa dengan orang lain apalagi dengan berkata-kata, serasa hal ini kurang etis. Orang yang jika bertemu saling melempar senyum kini sudah tidak bisa karena terhalang masker. Dengan situasi seperti ini, orang tidak saling merasa senang untuk bertemu. Selanjutnya dengan menggunakan masker, pembicaraan menjadi sangatlah terganggu. Sapaan kata-kata yang dibarengi dengan sikap wajah menjadi tidak bisa dirasakan lagi. Sapaan akan pembicaraan hangat pun menjadi tidak harmonis lagi.

Tidak Kontak Fisik (Tidak Berjabat Tangan) menghilangkan Budaya Salam

Sebagai orang yang berbudaya, salaman menjadi suatu sarana kedekatan satu sama lain. Hampir separuh manusia di dunia jika bertemu akan bersalaman, hal ini menunjukkan bahwa manusia hidup dalam tatanan sosial dan budaya. Biasanya, orang yang bertemu dengan cepat dan spontan saling menyodorkan tangan untuk bersalaman. Namun dalam perkembangan virus korona, hal ini tidak lagi bisa dilakukan. Jangankan untuk berjabat tangan, bertemu saja harus menjaga jarak minimal satu meter.

Apakah dengan Menggunakan Masker dan Tidak Kontak Fisik (Tidak Berjabat Tangan) Dimaksudkan untuk Menghilangkan Budaya Senyum, Sapa dan Salam?

Pertanyaan semacam ini mengajak kita sejenak untuk melihat apakah himbauan pemerintah dimaksudkan untuk menghilangkan budaya? Tentu ini sangat tidaklah masuk akal. Pemerintah dalam mengeluarkan keputusan pastilah mempertimbangkan banyak hal. Menggunakan masker dan tidak kontak fisik (tidak berjabat tangan) dimaksudkan untuk menghindari penyebaran virus korona yang bisa menular dengan percikan air liur dan kontak fisik. Selanjutnya, pemerintah juga menawarkan pengganti salam yang selama ini dilakukan seperti membungkukan badan dan kepala atau dengan mengatupkan tangan di dada.

Pada akhirnya, himbauan pemerintah dimaksudkan bukan untuk menghilangkan budaya senyum, sapa dan salam! Pemerintah memberi himbauan ini dalam kurun waktu tertentu dan untuk memutus rantai penyebaran virus korona. Walaupun demikian, diharapkan juga untuk tidak terlena dengan situasi yang membuat lupa dengan budaya yang satu ini. Jika terlena, maka sangat dipastikan bahwa keraguan akan kebudaan senyum, sapa dan salam dapat hilang seiring dengan perkembangan virus korona ini.

Penulis,

Katekis Ingatan Sihura, S.Ag.

(Alumnus STP Dian Mandala)

𝐃𝐎𝐌𝐄𝐒𝐓𝐈𝐂𝐀 𝐄𝐂𝐂𝐋𝐄𝐒𝐈𝐀 – 𝐏𝐀𝐒𝐊𝐀𝐇 – 𝐂𝐎𝐕𝐈𝐃-𝟏𝟗

Sergius Lay, S.Ag., M.Ed.

1. Awal Mula Covid-19 dan Pengaruhnya

Sejak pertengahan bulan Desember 2019 lalu, dunia digemparkan oleh munculnya satu virus baru yang menghebohkan dunia, karena proses penyebarannya yang cepat dan meluas ke seluruh dunia, sehingga disebut dengan pandemic covid-19 (Coronavirus Disease 2019).

Menurut informasi, virus baru ini muncul di kota Wuhan, tetapi banyak orang yang belum tahu dari mana asal virus korona baru yang mulai merebak di Wuhan, China, Desember 2019, apakah dari hewan, yaitu kelelawar atau belakang dikatakan berasal dari tenggiling atau hasil kreasi genetik dari laboratorium tertentu. Namun dalam berita Liputan6.com tanggal 7 April 2020, sejumlah peneliti dari di bawah pimpinan Shan-Lu Liu dari Ohio State University, mengatakan bahwa covid-19, termasuk SARS dan MERS,adalah bagian dari keluarga besar (famili) virus korona, yang dapat menyebabkan penyakit dengan tingkat keparahan yang luas. Mereka juga mengatakan bahwa SARS dan MERS berasal dari kelelawar, dan karena itu covid-19 pasti juga berasal dari alam dan bukan hasil rekayasa / kreasi manusia di laboratorium.

Lepas dari asal-usul covid-19, apakah disebabkan oleh alam atau kreasi genetik laboratorium, telah nyata bahwa covid-19 ini telah mempengaruhi pola hidup dan berpikir kita di bulan-bulan terakhir ini. Banyak orang mulai melihat wabah ini dari sudah pandang negatif, tetapi banyak orang juga yang melihat ini secara positif. Ulasan-ulasan teologis spiritual, psiko-sosial, social – politik – ekonomi, bermunculan di media-media cetak dan Online dengan jumlah yang tidak terkira. Di sini kita tidak hendak membahas semuanya secara detail, tetapi hanya melihatnya dalam konteks keberadaan kita yang sedang merayakan Paskah Tuhan di antara minggu pertama dan kedua di bulan April 2020.

2. Covid-19 dan Perayaan Paskah 2020

Mungkin kita dapat mengatakan bahwa wabah covid-19 muncul dan merebak manakala Umat Katolik (dan Kristen secara umum) sedang mempersiapkan (masa pra-paskah) Paska Kebangkitan Tuhan, yang puncaknya dirayakan pada Vigilia Paskah tanggal 11 April 2020 dan Perayaan Minggu Paskah tanggal 12 April 2020.

Memasuki Minggu Sengsara, yang dibuka dengan Perayaan Minggu Palma pada tanggal 5 April 2020, seraya mematuhi himbauan pemerintah untuk stay at home, hindari kerumunan, hindari pertemuan-pertemuan jaga jarak baik social maupun fisik, serta dikuatkan oleh surat-surat pastoral dari pimpinan gereja Keuskupan dan diteruskan ajakan para pimpinan Gereja Paroki, banyak umat Katolik yang merasa kehilangan “sense of community” dan “sense of fraternity”  bersama dengan semua saudara seiman dalam perayaan ini.

Dengan demikian Puncak Perayaan Paskah dan perayaan lain sebelum dan setelah Perayaan Paskah, dirayakan secara live streaming, baik yang siarkan dari Gereja-Gereja Katedral, Gereja-Gereja Paroki dan juga dari pelbagai komunitas-komunitas religius dan pastoran dengan waktu yang berbeda-beda. Seluruh umat Katolik pun diminta dan diharapkan untuk tidak menghadiri secara fisik secara Bersama dengan seluruh umat separoki atau juga sestasi atau sekomunitas tertentu, tetapi mengikutinya dari rumah masing-masing.

Sebuah fenomena baru muncul di saat-saat kerinduan untuk berpartisipasi secara aktif dengan seluruh umat separoki, sestasi dan sekomunitas umat beriman semakin tidak tertahankan. Mengikuti perayaan ekaristi dan ibadat harian pada hari-hari Minggu dan hari-hari biasa sebelum Perayaan Paska dirasa tidak memuaskan secara rohani, psikologis dan fisik. Kecanggihan alat-alat teknologi secara komputer, laptop, notebook, smartphone dan lain sebagainya, sepertinya tidak mampu memberikan kepuasan lahir dan batin / jasmani dan rohani jika dibandingkan dengan mengikuti secara fisik dengan seluruh umat beriman di gereja stasi atau gereja paroki di komunitas umat beriman.

Sebagai ungkapan kerinduan itu, muncullah pelbagai inisiatif dari banyak keluarga Katolik yang ingin merayakan Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Malam Paskah dan Minggu Paskah, tidak hanya secara live streaming melainkan langsung merayakannya di rumah sendiri dan Bersama dengan anggota keluarga ataupun Bersama dengan tetangga.

3. Domus Ecclesia, Paskah dan Covid-19

Pemikiran di paragraf terakhir di antar memberikan suatu pemahaman baru tentang Ecclesia Domestica, yang secara sederhana diartikan sebagai “Gereja Rumah Tangga”. Domus Ecclesia dapat diartikan sebagai suatu tempat pertama untuk tumbuh dan berkembangnya iman akan Kristus, tempat di mana terjadi kegiatan pengajaran dan praktek doa, kebajikan-kebajikan dan cinta kasih Kristus kepada kita (LG 11, FC 21).

Melihat di media-media social seperti facebook, tweeter, Instragram, Whatsapp dan medsos lainnya, tidak sedikit dari keluarga-keluarga Katolik yang “memamerkan” kegiatan-kegiatan doa di dalam keluarga. Doa yang dimaksud, tidak lagi sebatas pada kegiatan doa biasa seperti doa harian, atau doa waktu makan, atau doa rosario, atau doa syukuran tertentu, melainkan doa yang dipadukan dengan ibadat Gereja semesta, seperti Ibadat Minggu Palma, Ibadat Kamis Putih, Ibadat Jumat Agung, Ibadat Sabtu Suci dan Ibadat Minggu Paska.

Dengan demikian, doa yang dilakukan oleh Domus Ecclesia, tidak hanya sebatas pada doa biasa sebagai praktek keutamaan rohani – spiritual, tetapi doa yang disatukan dengan doa Gereja semesta, doa yang dipadukan dengan doa seluruh umat katolik, yang didasari pada intensi yang sama dan bersumber dari bacaan-bacaan Kitab Suci yang sama pula, dan mungkin saja memiliki struktur doa yang sama (karena memperoleh sumber bahan dari paroki atau dari sumber lain yang dipercaya sebagai Liturgi Katolik).

Atas dasar praktek-praktek yang terjadi seperti diuraikan di atas, kita dapat mengatakan bahwa selama masa covid-19 ini, Domus Ecclesia telah menjadi tempat di mana anak-anak dan seluruh anggota keluarga menerima pewartaan pertama mengenai iman dan praktek-praktek keutamaan spritual – rohani. Praktek-praktek ibadat resmi Gereja yang dilaksanakan dalam Tata Peribadatan di Gereja, “digeser” dan dipraktekkan di dalam keluarga. Maka tidak heran jika dalam Perayaan Minggu Palma (dan perayaan-perayaan trihari Paska), terjadi Ibadat Minggu Palma di dalam keluarga yang beranggotakan 4 (empat) atau 5 (lima) atau sekian orang, yang semua orang yang berpartisipasi mempunyai tugas dan tanggung jawab masing-masing, seperti Ayah memimpin ibadat, ibu memimpin lagu, anak-anak membaca bacaan dan membawakan doa umat. Tidak hanya itu, bahwa ruangan ditata sedemikian menjadi “kapel kecil” yang memiliki altar yang ditutupi dengan kain altar dan juga lilin di atasnya.

Mengamati fenomena-fenomena ini, covid-19 yang mewabah di masa Minggu Suci tahun 2020 ini, mengajari kita tentang bagaimana kehidupan rohani dalam rumah tangga kecil, harus sungguh-sungguh menjadi Ecclesia Domestica. Itu mengandaikan suatu keinginan yang sungguh dalam menciptakan kondisi-kondisi yang mungkin agar karakteristik dari sebuah Ecclesia Domestica tersebut dapat menyata dan dialami oleh seluruh anggota keluarga tersebut.

Bagaimana karakteristik tersebut dapat menyata dalam Ecclesia Domestica? Beberapa aspek mungkin dapat diuraikan di sini:

  • Komitmen bersama menciptakan Ecclesia Domestica. Tanpa didorong oleh komitmen bersama yang kuat, dan motivasi dari kepala rumah tangga, sangat sulit terwujudnya suatu kehidupan rumah tangga yang bercirikan Ecclesia Domestica.

Sangat terasa bahwa kegiatan “doa dan ibadat Bersama dalam rumah tangga selama Pekan Suci, terutama pada Trihari Suci Paskah, merupakan wujud dari komitmen seluruh anggota kerluarga dalam upaya menghadirkan pelbagai ritual keagamaan selama hari-hari suci tersebut. Ritual keagamaan selama Pekan Suci tidak hanya lagi dilaksanakan di Gereja / Kapel, tetapi berpindah tempat ke dalam atau di tengah-tengah keluarga kristiani atau keluarga katolik. Dengan demikian, wabah covid-19 yang sedang dialami oleh seluruh masyarakat dan terutama umat katolik, telah berhasil “membumikan” pelbagai ritual keagamaan dari Gereja / Kapel ke tengah-tengah hidup keluarga, di dalam rumah serta dirayakan secara lebih intens.

  • Peran Bapa adalah imam dalam Ecclesia Domestica.

Dalam tradisi Yahudiah, seorang bapa dalam keluarga, juga menghayati statusnya sebagai seorang imam. Namun, Kitab Suci memisahkan 2 (dua) peran berbeda: pertama ialah peran bapa dan imam dalam keluarga (bagi semua bapa sebagai kepala rumah tangga) dan kedua adalah peran bapa dan imam dalam lingkungan bangsa Israel yang dikhususkan untuk keturunan Harun dan Lewi (Kel 19,22; 29,1-37; 40,12; Im 8,1-36).

Sebagai seorang bapa dan imam dalam rumah tangga, tugas mereka adalah mempersembahkan korban (Kej 8,20; 12,7). Di sini kita dapat melihat bahwa peranan bapa dan imam merupakan dua peranan yang berhubungan satu sama lain (Hak 17,10; 18,19). Karena itu dalam konteks situasi kita, peran bapa keluarga dalam mengaktifkan keluarga yang mau berdoa dan “memindahkan” kegiatan ritual di Gereja ke rumah tangga adalah sangat penting dan menentukan dalam menciptakan Ecclesia Domestica.

  • Penghayatan Liturgi Gereja berpindah ke Rumah Keluarga

Dalam kaitan dengan covid-19, peran imam (baca: pastor) dan fungsi Gereja berpindah ke bapa keluarga dan rumah tempat tinggal keluarga. Mengamati dan melihat di media-media social di mana seorang bapa rumah tangga memimpin ibadat di tengah anggota keluarga, seorang ibu rumah tangga membaca bacaan kitab suci dan beberapa anak bergantian memerankan tugas liturgi yang lain menunjukkan suatu kesaksian bahwa rumah tangga keluarga selama masa covid-19, telah menjadi Ecclesia Domestica yang sudah harus terus mendapat perhatian untuk dikembangkan atau dihayati dalam keseharian, walaupun suatu ketika tidak lagi berkaitan dengan perayaan liturgi resmi gereja, tetapi dalam bentuk doa devosi dan bentuk-bentuk doa lainnya yang dapat meningkatkan kualitas hidup beriman katolik.

Dalam kegiatan doa liturgi dan doa-doa devosi lainnya terbentuk satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk membina kebajikan-kebajikan manusia dan cinta kasih Kristen. Ecclesia Domestica juga menjadi tempat pendidikan doa bagi seluruh anggota keluarga. Atas dasar Sakramen Perkawinan, keluarga adalah “Gereja rumah tangga”, di mana anak-anak Allah berdoa “sebagai Gereja” dan belajar bertekun dalam doa. Teristimewa untuk anak-anak kecil, doa sehari-hari dalam keluarga adalah kesaksian pertama untuk ingatan Gereja yang hidup, yang dibangkitkan dengan penuh kesabaran oleh Roh Kudus” (KGK 1656, 1666. 2685).

  • Panggilan Ketekis dan Guru Agama Post-Wabah Covid-19

Selain bapak keluarga atau seorang awam lain yang telah “mengambil alih” tugas imam di Gereja-Altar serta fungsi rumah keluarga yang telah menjadi “gereja baru” di masa covid-19, maka muncul juga arah baru dari pelayanan dan panggilan seorang Katekis dan Guru Agama Katolik (tenaga pastoral) setelah wabah covid-19 ini. Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan berdasarkan pengalaman ini. Pertama, hendaklah berusaha untuk memahami dengan lebih baik fenomena ini sebagai kesempatan mencari arah baru dalam kegiatan berkatekese. Melihat fungsi Rumah Keluarga dan peran bapa dalam keluarga yang ditampakkan selama wabah covid-19, harus menjadi kesempatan bagi para tenaga pastoral untuk mengisi pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang tata cara ibadat yang benar menurut liturgi Gereja Katolik. Kedua, setelah memahami dengan baik tentang tata ibadat gerejawi, maka seorang tenaga pastoral hendaknya belajar untuk menemukan metode, strategi, Teknik atau cara dalam mengedukasi umat agar umat semakin memahami dan mengetahui serta terampil membawakan tata ibadat di dalam keluarga manakala wabah yang hampir sama menimpa lagi kehidupan masyarakat di masa-masa yang akan datang. Namun, untuk jangka panjang, bukan lagi berkaitan dengan tata ibadat resmi gereja tetapi ibadat-ibadat devosional lainnya yang merupakan perayaan sakramentalia yang dirayakan di tengah keluarga.

4. Catatan Penutup

Kita tidak mengetahui secara pasti sampai kapanlah wabah ini akan berakhir, dan kapan wabah yang sama atau dalam bentuk yang lain dengan tingkat bahaya yang sama atau lebih akan muncul lagi. Namun, dari pengalaman wabah covid-19, telah mengajari kita banyak hal mulai dari ritme hidup, menjaga kesehatan, cara berelasi dengan sesama sampai kepada praktik-praktik ritual keagamaan.

Semoga pengalaman wabah covid-19 di masa Pra-Paksa dan Paska ini bisa membuat kita memahami bahwa hidup harus dimaknai secara lebih baik dan berarti dalam relasinya dengan sesama, lingkungan dan Tuhan serta bagaimana meningkatkan kualitas-kualitas hidup sebagai seorang Katolik yang lebih baik.

Selamat Paska dan salam sehat untuk semuanya

Paskah Kedua, 13 April 2020

Sdr. Sergius Lay, OFMCap

MEMAKNAI HARI MINGGU SEBAGAI HARI TUHAN: SUATU KAJIAN ATAS PERINTAH ALLAH KETIGA

Gizakiama Hulu*

Abstrak

Tidak dapat disangkal bahwa dalam kenyataannya, masih terdapat umat beriman yang tidak memahami dan memaknai hari Minggu secara mendalam. Dari kurangnya pemahaman itu sangat berakibat hari Minggu dipandang sebagai hari Tuhan hanya sekadar perayaan biasa saja, sehingga umat beriman kurang aktif untuk mengikuti Ibadat setiap hari Minggu dan menyamakan hari Minggu seperti hari Sabat dengan mengerjakan kegiatan yang menghalangi perayaan hari Tuhan. Itu artinya, umat beriman kurang menyadari, menghayati dan memaknai hari Minggu yang merupakan hari istimewa untuk dirayakan bersama umat beriman. Memang, dalam merayakan hari Tuhan orang tidak dilarang bekerja dan berbuat. Akan tetapi, terlebih dahulu diutamakan untuk pergi ke gereja mengikuti Ibadat bersama dan kemudian diteruskan dengan pelayanan-pelayanan untuk kebutuhan keluarga. Sebagai umat beriman perlu mengetahui di dalam tradisi Kristen, Sabat telah digeser ke hari Minggu yang merupakan hari untuk merayakan hari kebangkitan Kristus. Perayaan hari Minggu, menghadirkan kembali peristiwa Tuhan yang telah terjadi, kenangan akan masa lampau sejarah keselamatan bangsa Israel serta menghadirkan masa depan yang bercorak eskatologis sebagai peristiwa yang bakal disongsong pada masa depan. Pada hari Minggu, Allah mengundang dan mengumpulkan umat-Nya dari seluruh penjuru dunia untuk mengenangkan kembali kebangkitan Putera-Nya dari antara orang mati melalui perayaan Ibadat Sabda dan Ekaristi.

Kata kunci: Hari Minggu, Perintah Allah Ketiga, dan Umat Beriman.

1.  Pendahuluan

Hari sebagai kronologi perhitungan waktu merupakan bagian terpenting bagi manusia untuk melaksanakan aktivitas hidupnya. Dari berbagai jenis hari yang dikenal manusia, ada satu hari yang disebut hari Minggu atau hari Tuhan, karena “Bagi orang Kristen sekarang, hari Minggu adalah hari Tuhan.”[1] Allah sangat menghendaki, semua manusia yang percaya kepada-Nya menyiapkan saat-saat khusus untuk menghormati Tuhan. Maksudnya, agar manusia bukan hanya mampu meminta dan memohonkan terus-menerus kepada Tuhan melainkan harus mampu bersyukur memuji segala kebaikan dan karya Allah dalam hidup.

Di kalangan umat beriman Kristiani masih banyak yang kurang memahami dan memaknai hari Minggu sebagai hari Tuhan. Kerapkali, umat beriman menggunakan berbagai alasan untuk menjauhkan diri dari sikap syukur pada hari Minggu dan bahkan menggunakan ayat-ayat Kitab Suci tertentu untuk memberi alasan dari perbuatan tidak datang ke gereja, dikatakan: “Setelah Allah bekerja enam hari lamanya maka pada hari ketujuh Allah beristirahat” (Kel. 20:8). Demikian pula pemahaman umat beriman setelah merasa lelah dalam enam hari lamanya untuk bekerja mencari nafkah bagi keluarganya maka hari Minggu dipakai sebagai kesempatan untuk tidur nyenyak, berjudi, bersenang-senang dan rekreasi tanpa pergi ke rumah Tuhan untuk memuji dan bersyukur kepada-Nya. Seharusnya, umat beriman menyadari dan memahami bahwa “Gereja merayakan Kristus pada hari ‘kedelapan’[2] hari yang tepat disebut hari Tuhan atau hari Minggu.”[3]

Dari fenomena tersebut, maka perlu memberikan pemahaman intensif kepada umat beriman terutama umat Katolik dalam memaknai hari Minggu sebagai hari Tuhan. Memaknai hari Tuhan tidak menghayati dan melihat hari Minggu sebagai hari istirahat saja dari pekerjaannya melainkan lebih kepada sikap “Penghayatan misteri penyelamatan Allah dengan mengikuti persekutuan umat  beriman serta keikutsertaan umat Allah dalam perayaan Ibadat hari Minggu.”[4] Pada hari Minggu Allah mengundang umat-Nya untuk bersyukur dan mendengarkan Sabda-Nya sekaligus supaya dapat mewujudnyatakannya dalam pergumulan hidup dengan sesama, sebab; “Hari Minggu menggantikan hari Sabat agama Yahudi sebagai hari istirahat.”[5]

2.  Hari Minggu sebagai Hari Tuhan

2.1.  Hari Sabat bagi Orang Yahudi

Sabat atau Sabtu adalah hari ketujuh menurut penanggalan agama Yahudi. Kata Sabat berasal dari bahasa Ibrani “Shabbat” yang berarti berhenti bekerja atau beristirahat.[6] Perihal hari Sabat bagi agama Yahudi, William Chang menegaskan: “Hari Sabat, seperti hari istirahat mingguan, menjadi bagian hidup yang teratur dalam agama Yahudi.”[7] Namun, melalui hari Sabat inilah agama Yahudi mengkhususkannya sebagai hari istirahat kepada Yahwe untuk mendengarkan Sabda-Nya.

Dari penanggalan agama Yahudi, hari Sabat sangatlah penting dalam mengenangkan kisah penciptaan dunia yang dilakukan oleh Allah dan juga yang berfungsi dalam sosial-ekonomi serta sebagai kenangan pembebasan dari perbudakan di Mesir. Hari Sabat diindahkan dan ditaati oleh agama Yahudi sebagai tanda ikatan perjanjian dengan Yahwe. Di samping hari Sabat sebagai hari istirahat bermaksud berhenti dari segala pekerjaan sehingga agama Yahudi pun memandang hari itu sebagai: “Hari perhimpunan suci bagi mereka dengan tujuan menghormati Allah” (Im. 23:3). Penghormatan agama Yahudi terhadap hari Sabat, biasanya pada hari tersebut mereka berkumpul di dalam Kanisah di Yerusalem untuk mempersembahkan kurban-kurban khusus (bdk. Bil. 28:9-10). Hal ini nampak jelas, di mana-mana didirikan Sinagoga untuk Ibadat Sabda dalam bentuk perayaan yang lebih terarah dengan mendengarkan bacaan dari Kitab Taurat dan Kitab para nabi.

Setelah menghadiri Ibadat Sabda di Sinagoga sebagaimana kebiasaan orang Yahudi pada hari Sabat, mereka melanjutkan Ibadat itu di dalam rumah keluarga masing-masing untuk menghayati iman sepanjang pekan dengan penuh semangat. Selain bentuk Ibadat yang dilanjutkan dalam keluarga masing-masing, orang Yahudi juga menghayati imannya dalam bentuk persekutuan antara satu dengan yang lain dan pola hidup seperti itu justru mempererat hubungan kebersamaan mereka dalam lingkungan hidup dan masyarakat setempat. Ternyata, perayaan hari Sabat amat berpengaruh dalam seluruh sendi kehidupan agama Yahudi.[8]

2.2.  Hari Minggu bagi Orang Kristen

Hari Minggu berasal dari bahasa Latin ‘Dies Dominica’ dan dalam bahasa Portugis dikenal ‘Dominggo’ artinya hari Tuhan. Dari penjelasan arti hari Minggu dalam dua bahasa tersebut memuat makna yang sama yakni hari Tuhan. Apabila semua umat beriman memahami arti terdalam dari hari Minggu sebagai hari Tuhan maka akan diwujudkan dalam kesaksian hidup. Hari Minggu sebagai hari Tuhan bagi umat beriman masih dipahami hanya sekadar hari untuk lepas dari berbagai jenis pekerjaan tanpa memahami bagaimana memaknai hari Minggu itu sebagai hari Tuhan. Inti pemahaman tentang hari Minggu berdasarkan pengalaman hidup para rasul, berawal pada hari kebangkitan Kristus sendiri. Kebangkitan Kristus dari antara orang mati merupakan pusat iman umat beriman yang dirayakan dalam misteri Paskah dan sekaligus menunjuk pada hari penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus kepada umat-Nya di mana pada setiap hari kedelapan atau hari pertama dalam pekan yang disebut hari Minggu sebagai hari Tuhan.[9]

Gereja menginginkan agar pada hari Minggu umat beriman berkumpul baik untuk mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kemuliaan Yesus Kristus sambil mendengarkan Sabda Allah dan berpartisipasi dalam perayaan liturgi dengan bersyukur kepada Allah yang berkat kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Perayaan hari Minggu merupakan tindakan umat beriman yang selalu dihormati dalam hidup menggereja. Dengan tindakan itu, maka mengingat kembali sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus di tengah-tengah hidup sekarang ini.[10]

Gereja melanjutkan tradisi para Rasul tersebut melalui perayaan-perayaan yang menghadirkan Tuhan. Demikian pula jawaban para martir seperti yang dikutip dalam Ensiklopedi Gereja: “Tanpa merayakan hari Tuhan kami tidak dapat hidup”[11] terhadap Kekaisaran Romawi yang selalu melarang perayaan liturgi pada hari Minggu. Oleh karena itu, umat beriman berkewajiban untuk ikut serta khususnya dalam perayaan Ekaristi, dan Gereja mendorong orang yang malas seharusnya mengikuti undangan dan perjamuan Tuhan (bdk. Luk. 14:15-24). Tujuan menghadiri undangan dan perjamuan Tuhan tidak lain dari “Berkumpul untuk berdoa bersama dan saling meneguhkan dalam iman.”[12] Tujuan inilah merupakan penghayatan iman melalui persekutuan yang dilakukan umat beriman dengan tidak hanya sekadar asal-asalan melainkan wujud konkret dengan menghasilkan buah yang baik dan sekaligus menjadi harapan Gereja secara bersama.

2.3.  Hari Minggu merupakan Penyempurnaan Hari Sabat

Pada dasarnya, sebagian umat beriman memahami bahwa hari Minggu sama dengan hari Sabat. Akan tetapi, hari Sabat lebih dilihat sebagai hari istirahat atau berhenti dari pekerjaan sedangkan hari Minggu lebih pada mengenangkan hari kebangkitan Kristus dari antara orang mati sebagai ciptaan baru. Demikian diungkapkan Santo Yustinus yang dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik: “Pada hari Minggu kami semua berkumpul, karena itulah hari pertama, padanya Allah telah menarik zat perdana dari kegelapan dan telah menciptakan dunia, dan karena Yesus Kristus, Penebus kita telah bangkit dari antara orang mati pada hari ini”.[13] Sikap Santo Yustinus menunjukkan makna iman melalui persekutuan hidup umat beriman untuk menjalankannya pada tiap-tiap hari Minggu.

Dalam buku Katekismus Gereja Katolik ditegaskan perbedaan makna hari Minggu dengan hari Sabat;

Hari Minggu jelas berbeda dari hari Sabat, sebagai gantinya ia – dalam memenuhi perintah hari Sabat – dirayakan oleh orang Kristen setiap Minggu pada hari sesudah hari Sabat. Dalam Paska Kristus, hari Minggu memenuhi arti rohani dari hari Sabat Yahudi dan memberitakan istirahat manusia abadi di dalam Allah. Tatanan hukum mempersiapkan misteri Kristus dan ritus-ritusnya menunjukkan lebih dahulu kehidupan Kristus.[14]

Kebiasaan berkumpul umat beriman ini sudah berlaku sejak zaman para rasul dan dari tradisi yang baik inilah mewarnai seluruh kehidupan umat beriman hingga saat ini. Umat beriman merasa wajib ikut serta dalam beribadat setiap hari Minggu. Landasan yang paling kuat adalah Yesus sendiri yang menjadi kurban agung untuk menyelamatkan manusia dari dosa dengan wafat di kayu salib. Surat kepada orang Ibrani menasihati umat beriman agar: “Jangan kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan Ibadat kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati” (Ibr. 10:25).

Hari Minggu merupakan hari yang harus dijadikan suci dengan kegiatan cinta kasih melalui berbuat amal kepada sesama yang penuh kepedulian dan keprihatinan seraya meluangkan waktu untuk keluarga dan para kerabat sampai kepada orang-orang sakit, kaum lemah dan para lanjut usia. Adanya hari Tuhan memungkinkan semua orang memiliki waktu istirahat dan waktu senggang yang cukup untuk merawat kehidupan keluarganya, kultural, sosial, dan keagamaan. Dengan demikian, hari Minggu juga dipandang sebagai waktu yang cocok untuk refleksi, hening dan memacu pertumbuhan serta perkembangan iman dari kedalaman kehidupan batiniah umat beriman yang akan diwujudkan dalam kehidupan konkret.[15]

Urgensi yang dapat dipahami dalam memaknai hari Minggu, terungkap bahwa: “Pada hari Minggu hendaknya umat beriman tidak melakukan pekerjaan atau kegiatan yang merintangi Ibadat yang harus dipersembahkan kepada Tuhan atau merintangi kegembiraan hari Tuhan.”[16] Dengan kata lain, kebutuhan-kebutuhan dan pelayanan keluarga yang teramat penting bagi masyarakat merupakan alasan untuk membebaskan diri  dari kewajiban istirahat pada hari Minggu sehingga hal-hal ini tidak boleh menciptakan kebiasaan yang merugikan agama, kehidupan keluarga atau kesehatan.[17]

2.4.  Pandangan Kitab Suci tentang Hari Tuhan

2.4.1Perjanjian Lama

Perjanjian Lama merupakan dasar pemahaman umat beriman tentang hari Tuhan. Hari Tuhan lebih dilihat sebagai hari yang selalu dinanti-nantikan oleh umat Tuhan pada saat itu: “Merataplah, sebab hari Tuhan sudah dekat, datangnya sebagai pemusnahan dari yang Mahakuasa” (Yes. 13:6; bdk. Yl. 1:15). Dalam Kitab Yesaya menekankan bahwa hari Tuhan merupakan hari yang datang bagi umat manusia untuk memunahkan segala dosa manusia; “Sungguh, hari Tuhan datang dengan kebengisan, dengan gemas dan dengan murka yang menyala-nyala, untuk membuat bumi menjadi sunyi sepi dan untuk memunahkan dari padanya orang-orang yang berdosa” (13:9). Meskipun dalam tradisi agama Israel, Sabat merupakan motivasi dasar meniru pola kerja Allah untuk beristirahat pada hari ketujuh sesuai dengan Perintah Allah ketiga “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat, enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan Allahmu” (Kel. 20: 8-11).

Kedatangan hari Tuhan, sebenarnya telah memberi penyelamatan yang hebat dan sangat dahsyat kepada umat Israel melalui pembebasan dari bangsa Mesir sehingga peristiwa tersebut dapat dilalui dengan pedang datang atas Mesir dan bahkan hari itu tidak ada yang bisa menahannya (bdk. Yeh. 30:1-4; dan bdk. Yl. 2:11, 31). Dengan besarnya kasih Allah bagi manusia, Ia mau mengundang umat-Nya untuk hadir di hadapan-Nya, “Berdiam dirilah di hadapan Tuhan Allah! Sebab hari Tuhan sudah dekat. Sungguh Tuhan telah menyediakan perjamuan korban dan telah menguduskan para undangan-Nya” (Zef. 1:7). Dari pemahaman Kitab Perjanjian Lama tersebut lebih menunjukkan kepada umat beriman suatu sikap dalam masa penantian dan persiapan diri sebelum datangnya hari Tuhan. Sikap yang dimaksud adalah merupakan sikap batiniah yang bersih dan suci untuk menyambut kedatangan hari yang dahsyat yaitu hari Tuhan.

2.4.2. Perjanjian Baru

Kuduskanlah hari Tuhan merupakan perintah Allah ketiga yang diwarisi kepada umat beriman. Dalam tradisi kekristenan, muncullah peralihan hari Sabat ke hari kebangkitan Yesus Kristus dan kelahiran baru sehingga pada saat itu perayaan hari Tuhan dengan tidak melarang orang untuk bekerja dan berbuat baik. Hari Tuhan lebih dilihat pada hari kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati yang membawa penebusan dan keselamatan yang kekal bagi umat-Nya. Penegasan Yesus akan hari Sabat bukan untuk meniadakannya melainkan Ia mengkritik bahwa hari Sabat begitu banyak peraturan yang harus ditaati, misalnya mengatur jalan sampai berapa langkah, tidak boleh memasak dan bahkan tidak boleh menyembuhkan orang sakit yang sangat membutuhkan pertolongan. Dengan demikian, hari Sabat bukannya sebagai saat pembebasan dan istirahat, tetapi justru menjadi beban yang membelenggu dan menindas manusia. Dari situasi itulah, Tuhan Yesus hendak mengajarkan hakekat yang benar tentang hari Sabat. Tuhan Yesus ingin membaharui hal yang demikian dengan mengembalikan Sabat pada motivasi awalnya yakni sebagai hari Tuhan menuju kepada pembebasan bagi orang yang membutuhkan pertolongan seperti orang sakit.[18]

Berdasarkan pemahaman dari Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus pun menegaskan tentang makna hari Sabat orang Yahudi: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Mrk. 2:27-28). Perjanjian Baru yang berbicara tentang hari Tuhan akan dibandingkan pula dengan Perjanjian Lama yang lebih memfokuskan sikap umat beriman untuk menyambut kebangkitan Kristus yang tidak disangka oleh para rasul seperti yang sering diungkapkan Yesus ketika mereka masih bersama-sama dan begitu pula yang telah dinubuatkan sebelumnya dalam Perjanjian Lama. Dalam surat rasul Paulus kepada orang Ibrani menegaskan “Supaya selalu teguh dalam pengharapan sesuai janji Kristus untuk saling memperhatikan, mendorong untuk berbuat kasih dan dalam pekerjaan yang baik sehingga tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan Ibadat seperti yang telah dibiasakan oleh orang-orang sebelumnya dengan penuh semangat menjelang hari Tuhan yang sudah mendekat” (Ibr. 10:23-25 dan bdk. 1Kor. 1:8). Umat beriman diajak dan didorong untuk bersekutu dalam merayakan kebangkitan Kristus yang dirayakan pada hari Minggu dengan perlu kesiapan iman dan pertobatan bagi umat beriman yang sering disebut “Berjaga-jagalah sebelum datangnya hari Tuhan” (Luk. 21:34).

2.5.  Ajaran Gereja tentang Hari Tuhan

Hari Tuhan adalah hari pembebasan manusia.[19] Dalam melaksanaan Ibadat ilahi secara penuh setiap hari Minggu, umat beriman mampu membangun dan membina relasi dengan Allah. Karya penebusan dan pemuliaan Allah yang sempurna telah dialami dan diterima oleh umat beriman di dalam kasih Allah. Hal ini diawali dengan karya agung Allah di tengah umat Perjanjian Lama sehingga karya itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan melalui misteri Paskah dengan sengsara-Nya yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan. Kristus menghancurkan maut dengan wafat-Nya, dan membangun kembali hidup yang baru sebagai puncak dari iman umat yang diperoleh dengan kebangkitan-Nya.[20]

Adapun yang menjadi tugas Gereja sebagai umat beriman yakni “Sekali seminggu, pada hari yang disebut hari Tuhan, Gereja mengenangkan kebangkitan Tuhan.”[21] Dalam kegiatan ini, umat beriman mengambil bagian untuk menghayati Sabda Allah sebagai sumber kehidupan yang ilahi. Demikian ungkapan Santo Hironimus dalam buku KGK:

Hari Tuhan, hari kebangkitan, hari umat Kristen, adalah hari kita. Ia dinamakan hari Tuhan, karena pada hari ini Tuhan telah naik kepada Bapa sebagai pemenang. Kalau orang menamakannya hari matahari, kita pun senang mengakuinya, karena hari ini terang dunia telah terbit, hari ini matahari keadilan telah kelihatan, yang sinar-sinarnya membawa keselamatan.[22]

Oleh karena itu, tidak salah lagi bila hari Minggu adalah hari di mana umat beriman berkumpul untuk perayaan liturgi,[23] sehingga Gereja sepakat dalam perayaan “Paskah Kristen harus dirayakan pada Minggu setelah bulan purnama pertama di musim semi”[24] dan inilah hari yang dijadikan Tuhan, “Marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya,” (Mzm. 118:24). Hari kebangkitan sebagai puncak iman Kristiani merupakan ciptaan baru yang dialami oleh umat beriman, karena kebangkitan-Nya menunjuk pada hari Minggu yang disebut hari Tuhan “Yesus telah bangkit dari antara orang mati pada hari pertama Minggu itu” (Mat. 28:1; Mrk. 16:2; Luk. 24:1; Yoh. 20:1). Hari pertama sebagai hari kebangkitan Kristus mengingatkan seluruh umat beriman akan penciptaan pertama. Namun, sesudah hari Sabat atau yang disebut hari kedelapan itu menunjuk pada ciptaan baru yang datang dengan kebangkitan Kristus. Catatan penting bagi umat beriman adalah hari itu telah menjadi hari segala hari dan pesta segala pesta yaitu hari Tuhan.[25]

3.  Makna Hari Minggu sebagai Hari Tuhan atas Perintah Allah Ketiga

3.1.  Sejarah Hari Minggu

Perintah menguduskan hari Sabat adalah meniru pola kerja Allah yang menciptakan alam semesta selama enam hari dan pada hari ketujuh Ia beristirahat. Dengan mengikuti pola kerja Allah, Sabat memiliki makna di mana manusia dipanggil untuk hidup dan bekerja seperti Allah dan sekaligus mengenangkan pengalaman pembebasan yang telah dialami bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Tujuan akhir hari Sabat adalah manusia dan binatang harus istirahat. Hari Sabat mengungkapkan prinsip penyempurnaan yang ditunjukkan Allah dalam karya penciptaan-Nya. Beristirahat pada hari ketujuh berarti manusia diajak untuk merenungkan seluruh karya dan aktivitasnya dengan menyadarkan manusia tidak cukup hanya mengandalkan usahanya sendiri. Umat beriman hendaknya menanamkan tradisi hari Minggu yang dimulai dalam diri sendiri, keluarga hingga masyarakat dengan mengutamakan keikutsertaan dalam Ibadat dan Ekaristi serta dilanjutkan dengan berbuat baik kepada sesama.[26]

Kuduskanlah hari Tuhan memiliki perkembangan makna untuk dihayati oleh umat beriman. Selain terlibat pada perayaan Ibadat dan Ekaristi, hari Minggu sebagai hari Tuhan mendapat makna yang istimewa untuk memperhatikan hidup dan keselamatan manusia. Oleh karena itu, sejarah hari Minggu dimulai dan diawali dengan peristiwa kebangkitan Yesus Kristus dan perkembangan selanjutnya mempunyai bentuk yang tetap sebagai hari Minggu, hari khusus umat beriman untuk menyembah dan memuji Tuhan.[27]

Kitab Perjanjian Baru memperlihatkan sejumlah bukti mengenai persekutuan liturgi umat beriman yang berfokus pada “Perayaan perjamuan Tuhan dengan berkumpul bersama” (1Kor. 11:20-34). Hari Minggu sebagai pesta umat beriman telah tumbuh dan berkembang mulai pada perayaan Paskah dan Pentakosta Yahudi di mana para rasul dan para murid Yesus menghubungkannya pada waktu yang sama dengan kenangan akan misteri-misteri Kristus sebagai penyelamat dunia. Tradisi para rasul tersebut tidak hanya berlaku pada saat itu, namun umat beriman melanjutkannya dengan berpegang teguh merayakan pesta kebangkitan Yesus Kristus setiap hari Minggu.[28]

Dari pendasaran di atas, dapat ditandaskan bahwa perayaan hari Minggu seyogianya tidak berlalu begitu saja di tengah-tengah umat beriman, tetapi hendaknya hari itu diamalkan dengan sepenuh hati agar “Perlu semakin ditampilkan arti perayaan hari Minggu sebagai Paskah mingguan.”[29] Oleh karena perkembangan sejarah, arti perayaan hari Minggu membawakan suatu evolusi yang amat fundamental tentang penebusan bagi umat beriman melalui Kristus. Dengan berbagai kesaksian hidup dalam iman kepada Kristus menunjukkan arti Paskah dengan kemuliaan Allah dalam karya-Nya di dalam Gereja sendiri karena “Kesaksian itu telah diawali dan diwarnai oleh Maria, para Kudus dan para Martir.”[30]

Paskah Kristen merupakan kelengkapan peristiwa kebangkitan Kristus dari antara orang mati, penampakan Diri Yesus kepada para murid-Nya, makan bersama dengan para murid-Nya, anugerah Roh Kudus dan juga tugas perutusan Gereja. Peristiwa ini yang selalu dikenangkan oleh umat beriman sebagai pusat dari sejarah keselamatan yang mendapat perhatian pada hari pertama dalam pekan. Bosco da Cunha dalam bukunya Memaknai Perayaan Liturgi Sepanjang Satu Tahun menegaskan: “Keseluruhan misteri yang selanjutnya dirayakan setiap hari Minggu telah hadir pada hari Paskah, karena itu hari Minggu tak lain dan tak bukan merupakan perayaan mingguan misteri Paskah tersebut.”[31] Demikian juga dalam Kisah para Rasul diungkapkan bahwa “Pada hari pertama dalam seminggu itu kami berkumpul untuk memecahkan roti” (Kis. 20:7-11). Perkumpulan itu diadakan untuk menunjukkan persekutuan umat beriman di hadapan Allah  “Agar menjadi sehati sejiwa dalam kasih.”[32]

3.2.  Teologi tentang Hari Minggu

3.2.1.  Hari Kebangkitan

Teologi hari Minggu menunjuk pada peristiwa kebangkitan Yesus Kristus sebagai jantung perayaan. Namun, hari Minggu juga mengandung aspek lain yang ditandai dengan peristiwa keselamatan bagi umat beriman. Hari Minggu disebut sebagai hari Tuhan karena pada hari itu Yesus Kristus bangkit dari antara orang mati, sehingga “Orang beriman melihat dan mengimani peristiwa ini sebagai campur tangan Allah yang besar dalam hidup manusia dan sebagai mukjizat yang paling agung.”[33] Pengalaman iman ini dipegang dan diwujudnyatakan oleh umat beriman sekali seminggu tepat pada hari Minggu dengan hati yang penuh gembira ria, sebab: “Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh dan aku mendengar dari belakangku suatu suara yang nyaring, seperti bunyi sangkakala” (Why. 1:10).

Dalam merayakan kebangkitan Kristus setiap hari Minggu, umat beriman berkesempatan untuk meneguhkan imannya kepada Kristus karena “Hari Minggu merupakan sakramen perjumpaan mingguan dengan Kristus yang bangkit dan menampakkan Diri karena kehadiran-Nya di tengah umat beriman yang berhimpun bersama.”[34] Melalui perayaan kebangkitan Kristus “Umat beriman dikumpulkan dan dipersatukan oleh-Nya yang tercerai-berai” (Yoh. 11:52). Demikian halnya umat beriman menghadirkan kembali peristiwa Tuhan yang bangkit, mengenangkan akan masa lampau sejarah keselamatan bangsa Israel dan bahkan hingga saat ini umat mengalami pembebasan  dari berbagai perbudakan dan penjajahan serta menghadirkan dimensi masa depan yang bercorak eskatologis menuju kepada kehidupan yang abadi dan kekal.[35] Dengan kata lain, perayaan hari Minggu menampilkan “Kehadiran Tuhan yang telah bangkit di dalam Gereja-Nya dalam bentuk misteri.”[36] Serpulus Tano Simamora memaparkan lebih lanjut bahwa:

Kata kunci dalam teologi kebangkitan ialah peralihan, perubahan dari kematian ke kehidupan. Peralihan dan perubahan itu bukan melulu soal psikologis, tetapi menyangkut seluruh diri manusia yang dikuasai oleh Roh yang datang dari luar, yakni Roh Yesus yang bangkit dan tetap hidup.[37]

3.2.2.  Hari Roh Kudus

Iman akan Kristus merupakan anugerah dari Roh Kudus yang meyakinkan umat beriman untuk “Tidak ada seorang pun yang dapat mengakui Yesus adalah Tuhan selain oleh Roh Kudus” (1Kor. 12:3). Berkat kehadiran Roh Kudus, umat beriman diantar masuk ke pengenalan akan kebenaran (bdk. Yoh. 16:12). Peranan Roh Kudus sangatlah penting karena, “Roh Kudus adalah pribadi yang akan menolong dan menghibur umat beriman.”[38] Dengan demikian, umat beriman semakin menyadari akan hal itu yang selalu memberi penolong, penghibur serta yang menyertai dan diam di antara umat beriman (bdk. Yoh. 14:16-17).

Roh Kudus adalah pelaku utama tugas perutusan.[39] Para Rasul telah menerima tugas perutusan dari Kristus yang bangkit melalui tuntunan Roh Kudus: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku …Dan ketahuilah Aku menyertai kamu sampai akhir zaman” (bdk. Mat. 28:18-20; Mrk. 16:15-18; Luk. 24:46-49; Yoh. 20:21-23). Sangat jelas sebagaimana dikatakan “Roh Kudus adalah pendamping umat beriman dalam seluruh kehidupannya.”[40]

Hari Minggu adalah waktu Roh Kudus menciptakan berbagai kondisi untuk menampung dan meresapkan kabar baik dari Allah di dalam misteri kebangkitan Kristus. Kehadiran dan kegiatan Roh Kudus bersifat universal. Ia hadir dan berkarya baik secara individu maupun dalam diri manusia-manusia dari berbagai bangsa untuk membantu umat beriman merenungkan kegiatan dan karya Allah di setiap waktu dan di mana saja. Pada hari Minggu, umat beiman dilimpahi dan dicurahi kekuatan Roh Kudus sekaligus diutus ke tengah-tengah dunia dalam rangka mewartakan karya keselamatan Allah dengan penuh semangat kenabian melalui persekutuan hidup dalam Allah Tritunggal Mahakudus.[41]

3.2.3.  Hari Gereja

Hari Tuhan yang selalu dirayakan setiap hari Minggu oleh umat beriman merupakan hari Gereja. Umat beriman berkumpul bersama untuk berdoa, bersyukur dan mendengarkan Sabda Allah di masing-masing tempat, baik di lingkungan, di stasi maupun di paroki. Perayaan yang biasa dilakukan seperti perayaan Ibadat Sabda dan Ekaristi tidak lepas dari kegembiraan Paskah untuk saling berbagi kepada sesama menuju persaudaraan yang sejati di dalam Kristus. Persekutuan itu akan mengandung makna penting bahwa “Umat beriman yang berhimpun bersama pada hari Minggu mengungkapkan arti terdalam dari keadaannya sebagai Gereja.”[42] Iman yang dimiliki tentu tidak hanya dikembangkan secara personalitas tetapi secara kelompok yang disebut persekutuan umat beriman yang saling bersama-sama menghadirkan Kristus.[43]

Beriman berarti percaya seperti yang Gereja percaya dan percaya menurut yang Kristus ajarkan.[44] Melalui himpunan perayaan umat beriman akan menanamkan iman yang kokoh kepada Kristus dengan mengenangkan peristiwa penyelamatan dari pada-Nya. Bosco da Cunha lebih lanjut menjelaskan “Pada hari Tuhan, Gereja mengungkapkan dirinya dan mewujudkan dirinya sebagai perhimpunan suci sekaligus juga merupakan hari pembentukan umat Allah berkat santapan Sabda dan santapan Tubuh dan Darah Kristus.”[45] Himpunan umat beriman selalu dipertahankan dalam kehidupan manusia terutama untuk berhimpun pada hari Minggu seperti yang terurai dalam Konsili Vatikan II mengatakan:

Umat beriman Kristiani, yang dihimpun dari segala bangsa dalam Gereja tidak membedakan dari orang-orang lain entah karena bentuk pemerintahan, entah karena bahasa mereka, entah karena tatanan politik kehidupan. Maka, hendaklah mereka dalam adat kebiasaan hidup bangsa mereka yang pantas hidup bagi Allah dan Kristus.[46]

3.2.4.  Hari Ekaristi

Ekaristi adalah ungkapan kelimpahan rahmat ilahi yang istimewa, yang menjangkau secara tak terbatas tiap keperluan dan tiap aspirasi manusia secara adil.[47] Perayaan Ekaristi mengingatkan kembali umat beriman akan kesatuannya dengan Kristus yang telah dimulai oleh para murid “Makan dan minum bersama-sama orang berdosa” (Luk. 5:30), demikian juga “Setelah hari malam, Yesus duduk makan bersama-sama dengan kedua belas murid itu” (Mat. 26:20). Di dalam Ekaristi umat beriman dituntun bertemu dengan Tuhan yang menjadi pusat hidup manusia untuk semakin merasa kuat dan bersatu dengan Tuhan serta saudara-saudari seiman karena “Ekaristi adalah masuk ke dalam liturgi surgawi”.[48] Ekaristi dipandang secara khusus sebagai puncak, sumber dan pusat kehadiran Gereja sangat memberi jaminan hidup yang kekal bagi umat beriman karena Yesus mengatakan: “Akulah roti hidup,” (Yoh. 6:35). Tugas Gereja adalah agar semua orang yang berhimpun, sehati dan sesuara memuliakan Tuhan di dalam Gereja dan mengambil bagian dalam kurban syukur pujian Tuhan dengan menimba kekuatan dengan sesama serta meneruskan karya penyelamatan itu di tengah masyarakat.

Para rasul dan umat Kristen perdana merayakan hari Minggu dengan berkumpul bersama untuk upacara pemecahan roti (bdk. Kis. 20:7). Perayaan Ekaristi adalah pusat kegiatan hari Minggu. Ekaristi pada hari Minggu, memang benar tidak berbeda dengan perayaan Ekaristi pada hari-hari biasa yang juga tidak diceraiberaikan dari hidup liturgis dan sakramental secara keseluruhan. Akan tetapi, penampilan Gereja yang sangat istimewa adalah terdapat dalam keikutsertaan penuh, aktif dan wajib pada hari Minggu karena dirayakan hari Kristus yang telah mengalahkan maut sehingga hidup Kristus dibagikan kepada umat beriman.[49] Sampai sekarang umat beriman berkumpul merayakan Ekaristi untuk bersyukur atas perbuatan-perbuatan Allah yang besar dalam hidup manusia, misalnya: “Sebagai hari Tuhan, hari berkumpul, hari perjamuan Kudus, diambil tanpa menunggu lama hari pertama dalam pekan, hari kebangkitan dan hari kemenangan Tuhan.”[50] Dengan mengandung arti yang sangat bermakna “Perayaan Ekaristi adalah ungkapan terpenting dari hidup beriman Kristiani.”[51]

3.2.5.  Hari Pembaptisan

Perjumpaan dengan Kristus yang bangkit menyadarkan setiap umat beriman akan dirinya sebagai putra pilihan Allah (bdk. Kis. 17:28), yang telah dilahirkan kembali dalam Roh Kudus berkat sakramen Pembaptisan (bdk. Ef. 1:13). Pembaptisan yang telah diterima oleh setiap orang sebagai titik pangkal untuk membangun hidup manusia sebagai manusia baru karena berasal dari Allah dan telah lahir dari Allah (bdk. Yoh. 1:12). Dengan demikian, “Orang datang untuk dibaptis dan untuk bertobat,”[52] sebagai wujud nyata menjadi pengikut Kristus.

Baptisan akan menyadarkan umat beriman akan kebangkitan yang dialami Kristus sekaligus menyatu dengan hidup bersama Allah Tritunggal. Dengan itu, ”Seorang terbaptis dipersatukan dengan meterai kekal ke dalam hidup Kristus senasib serta sewaris dengan Dia.”[53] Hari Minggu mendapat nilai tambahan dan plus sebab dirayakan setiap umat beriman yang karena sakramen pembaptisan wajib memperbaharui diri dan meningkatkan hidupnya yang luhur dan suci sebagai jawaban dari panggilannya itu. Untuk menjadi keluarga Allah dalam kehidupan umat beriman, maka harus dipahami “Sakramen Permandian mengakibatkan suatu kelahiran baru, menjadi anak Allah. Dengan mencurahkan Roh-Nya ke dalam hati umat beriman serta Tuhan menerima umat beriman ke dalam cinta-Nya.”[54]

3.2.6.  Hari Penciptaan Dunia Baru

Penciptaan dunia baru adalah berkaitan erat dengan misteri kebangkitan Kristus. Dengan menciptakan kembali dunia baru tersebut, Kristus memperbaharui lagi hidup manusia yang telah jatuh ke dalam dosa untuk membenahi dan memulihkan kembali serta mempersatukan seluruh alam ciptaan Allah; “Karena setiap manusia adalah orang berdosa, maka setiap orang membutuhkan penebusan dari dosa untuk dapat memperoleh keselamatan.”[55] Lebih lanjut Santo Gregorius yang dikutip dalam buku Bosco da Cunha berkata:

Yang berkenan di hati saya bukanlah hari sabat meskipun dirayakan dan dipadukan  hari istirahat bagi setiap orang. Saya lebih mengutamakan hari kedelapan, yakni awal dari suatu dunia yang baru. Itulah sebabnya kita merayakannya sebagai hari pesta penuh kegembiraan, justru karena pada hari kedelapan Kristus bangkit dari antara orang mati dan kemudian naik ke Surga setelah menampakkan diri-Nya.[56]

Pada hakekatnya umat beriman setiap kali disadarkan akan karya penciptaan yang kini pun berlangsung berkat misteri Paskah Kristus, sebab “Manusia sadar bahwa seluruh hidupnya, jiwa raganya ada di dalam tangan Tuhan. Tubuh manusia adalah buah karya sang Pencipta.”[57] Oleh karena itu, hari Minggu merupakan hari pembaharuan kembali segenap ciptaan yang diterangi oleh sang cahaya Kristus Tuhan. Peranan manusia begitu besar dalam menanggapi penciptaan dari Allah karena, “Manusia adalah makhluk yang struktur atau bangunannya begitu rupa sehingga ia terarah kepada perjumpaan dengan Allah.”[58]

3.2.7.  Hari Ekatologis

Perjumpaan dengan Kristus di dalam perayaan Ekaristi adalah tanda yang pasti tentang perjumpaan umat beriman dengan Dia pada akhir zaman. Untuk itu, hari Minggu kita merayakannya sebagai hari kedelapan yakni awal dari dunia baru sampai kedatangan kekal. Akhir zaman dimaknai umat beriman agar iman yang dimiliki bukan hanya kini dipertahankan, tetapi iman yang sampai kekal pun selalu dipertahankan sebagai warisan. Berkaitan dengan akhir zaman, A. Bakker berpendapat bahwa:

Pada akhir zaman, Yesus pemenang atas setan, dosa, dan maut akan kembali dengan kemuliaan untuk menyelesaikan karya penyelamatan-Nya. Penyelesaian karya penyelamatan-Nya akan terwujud dalam penampakkan diri Yesus yang mulia dan dalam pengadilan terakhir bagi semua manusia.[59]

Di dalam Gereja, hari Minggu menampilkan kehadiran Tuhan yang bangkit sekaligus sebagai tanda pengharapan dan penantian penuh kerinduan akan kedatangan  Kristus pada akhir zaman. Demikian rasul Paulus dan Yohanes yang dikutip dari Nico juga menegaskan “Ada wahyu yang akan datang, yakni pada saat kedatangan kembali Kristus pada akhir zaman,”[60] sehingga pada saat itu “kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya,” (1Yoh. 3:2). Menentukan kedatangan Kristus umat beriman perlu berjaga-jaga dengan mempersiapkan diri, sebab: “Sesudah pergolakan dunia berlalu, kedatangan Kristus dalam kemuliaan-Nya akan terjadi. Kemudian datang kemenangan Allah yang definitif pada akhir zaman dan menyusul pengadilan terakhir.”[61] Dengan demikian, tak heran jika para rasul dan para bapa Gereja “Selalu mengaitkan hari Minggu dan hidup beriman seluruhnya dengan hari kedatangan Kristus yang kedua.”[62]

3.3.  Makna Hari Minggu bagi Umat Beriman

Umat beriman tidak hanya mengakui imannya saja tetapi juga keikutsertaan untuk merayakannya pada hari Minggu. Bersatu dengan sesama sangat berharga dengan mengadakan perayaan bersama-sama dan berhenti sebentar untuk kemudian meneruskan perjalanan dengan kekuatan yang lebih besar. Tugas pelayanan yang diemban oleh umat beriman dikembangkan dan selalu dipertahankan karena, “Pada hari Minggu Gereja mewartakan kepada dunia Kabar Gembira dari Tuhan, Pencipta dan Penebus.”[63]

Umat beriman dikumpulkan oleh Allah di dalam gereja atau di rumah masing-masing untuk mengenangkan karya penyelamatan Kristus meskipun pada kesempatan suka ataupun duka, dalam kecemasan dan pengharapan. Keseluruhan pribadi umat beriman mengarahkannya kepada Tuhan pada perayaan yang dimaksud agar sukacita tetap hidup antara satu dengan yang lain (bdk. Kis. 2:46). Perkumpulan pada perayaan hari Tuhan senantiasa mengenangkan serta menghadirkan Kristus yang bangkit, “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Janji-Nya ini memberi pengharapan bagi umat beriman untuk melanjutkan pengharapan hidup menuju masa depan.[64]

4.  Kesimpulan

Dalam Gereja Katolik terdapat sepuluh perintah Allah. Kesepuluh perintah Allah tersebut merupakan pedoman hidup umat beriman dalam penziarahan di dunia ini. Mengikuti Yesus dituntut ketaatan dari setiap manusia agar menghayati perintah-perintah Allah khususnya kesepuluh firman (bdk. Kel. 34:28). Kesepuluh firman disebut juga dekalog. Dengan demikian, dekalog memiliki peranan penting bagi Gereja. Gereja, dalam kesetiaannya kepada Kitab Suci dan teladan Kristus, mengakui kepentingan paling dasar dan makna dekalog: orang-orang Kristen wajib menaatinya. Dari antara perintah itu salah satu perintah yang menunjuk kepada Allah adalah Perintah Allah ketiga yakni Kuduskanlah Hari Tuhan.

Pada hari Minggu, di seluruh penjuru dunia umat beriman Kristiani wajib merayakan hari Minggu sebagai hari Tuhan. Hari Minggu dirayakan sebagai hari Tuhan, karena berdasarkan tradisi para rasul yang berasal mula pada hari kebangkitan Kristus sendiri; “Dan pagi-pagi benar pada hari pertama Minggu itu, setelah matahari terbit, pergilah mereka ke kubur” (Mrk. 16:2). Dengan demikian, Gereja menetapkan bahwa perayaan misteri Paskah dirayakan sekali seminggu tepat pada hari Minggu yang disebut hari Tuhan. Pada hari Minggu seluruh umat beriman dipersatukan oleh Allah di dalam Kristus, berkumpul dengan saudara dan saudari seiman serta membuahkan dengan berbuat amal kasih kepada sesama demi mengenangkan hari kebangkitan Kristus.

Hari Minggu adalah hari kebangkitan Kristus, sedangkan hari Sabat lebih dilihat sebagai hari istirahat. Untuk itu, motivasi dasar dari hari Sabat adalah meniru pola kerja dari Allah sendiri. Allah telah bekerja selama enam hari dan pada hari ketujuh Ia beristirahat. Hari Sabat sangat berbeda dengan hari Minggu atau hari Tuhan, karena sesudah hari Sabat adalah hari Minggu yang melambangkan ciptaan baru dengan didahului oleh kebangkitan Kristus. Hari Minggu sebagai hari kebangkitan Kristus, Dia menyempurnakan kebenaran rohani hari Sabat Yahudi dan mewartakan istirahat abadi manusia dalam Allah. Dengan itu, umat beriman Kristiani menjaga kekudusan hari Minggu dengan berpartisipasi pada Ekaristi atau Ibadat Sabda yang akan dirayakan bersama, serta menghindari kegiatan-kegiatan yang menghalangi ibadah kepada Allah dan mengganggu suka cita hari Allah itu sendiri.

Hari Minggu sebagai hari Tuhan, sebaiknya harus dipahami secara benar dan lebih mendalam oleh umat beriman agar dalam pelaksanaannya lebih  dihayati dan dimaknai sebagai sebuah hari pembebasan yang memungkinkan untuk ambil bagian dalam “Suatu kumpulan pesta yang meriah dan jemaat anak-anak sulung yang namanya terdaftar di surga” (Ibr. 12:22-23), sehingga tidak disamakan begitu saja apa yang menjadi makna hari Sabat dengan hari Minggu sebagai hari Tuhan bagi umat beriman Kristiani. Seandainya umat beriman menyadari dan memahami bahwa hari Minggu dikhususkan bagi Tuhan tentu, akan memberikan diri dan waktu yang seutuhnya untuk mendengarkan Tuhan melalui Sabda-Nya.

Pada hari Minggu, umat beriman tidak dilarang untuk bekerja dan berbuat baik bagi orang lain. Dengan kata lain, setelah perayaan ibadat maka pekerjaan dalam keluarga dan komunitas kembali berjalan dengan baik. Hal ini merupakan pembebasan bagi umat beriman dari aturan-aturan yang ingin menindas dan membelenggu. Pekerjaan-pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang sesuai dengan kehendak Allah dalam kehidupan manusia dengan mengamalkan cinta kasih yang sejati, dan menyumbangkan kegiatannya demi penyempurnaan ciptaan yang ilahi. Di samping itu, hari Minggu hari keluarga saat yang tepat untuk mengunjungi sanak saudara, memberi perhatian kepada kaum lanjut usia serta orang-orang sakit yang di dalamnya ada nilai kebersamaan dalam menimba pengalaman hidup di dunia ini.

 *) Gizakiama Hulu

Magister Agama dari STP IPI Malang, mengajar Katekese Umat dan Statistik di STP Dian Mandala Gunungsitoli – Nias

                                                                                                 

 

Daftar Pustaka

Bakker, A. Ajaran Iman Katolik 1 untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

                         . Ajaran Iman Katolik 2 untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Cunha, Bosco da. Tahun Liturgi Gereja Sejarah-Teologi-Pastoral. Malang: STFT Widya Sasana, 1988.

                         . Memaknai Perayaan Liturgi Sepanjang Satu Tahun. Jakarta: Obor, 2011.

Cunha, Bosco da dan dan Lazarus. Pengantar Teologi. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia, 2011.

Chang, William. Menggali Butir-Butir Keutamaan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Dister, Nico Syukur. Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1991.

                         . Teologi Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan tentang Teologi Pencipta. ([tanpa kota]: Kanisius, 2004.

Doornik, P.N.J. Van. Di mana Hal-hal itu tertulis dalam Kitab Suci. Diterjemahkan oleh E. Siswanto. Malang: Dioma, 2001.

Hahn, Scott W. Teologi Alkitabiah Paus Benediktus XVI. Diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata. Jakarta: Fidei Press, 2011.

Hayon, Nikolaus. Capita Selecta. Maumere: STFK Ledalero, 1993.

Heuken, Adolf. Ensiklopedi Gereja. Jilid V. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.

                         . Ensiklopedi Gereja. Jilid VII. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.

Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara. Katekismus Gereja Katolik. Diterjemahkan oleh Herman Embuiru. Ende: Nusa Indah, 1995.

Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius-Obor, 1996.

                         . Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Diterjemahkan oleh Harry Susanto. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993.

Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan dan Paulus Budi Kleden. Maumere-Flores: Ledalero, 2013.

Kewuel, Hipolitus K., dan Gabriel Sunyoto (ed.). 12 Pintu Evangelisasi: Menebar Garam di Atas Pelangi. Yogyakarta: Wina Press, 2010.

Mariyanto, Ernest. Kamus Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Purnomo, Aloys Budi. Mohon Roh Kudus. Medan: Bina Media, 2001.

Simamora, Serpulus Tano. Yesus Sebuah Diskusi Kristologis. Medan: Bina Media Perintis, 2005.

Sinaga, Anicetus B. Imam Triniter Pedoman Hidup Imam. Jakarta: Obor, 2007.

Tarpin, Laurentius. Moral Hukum Allah. Disadur oleh Cornelius Fallo. Diktat Moral Dekalog. Gunungsitoli: STP Dian Mandala, 2014.

Tim Karya Kepausan Indonesia. Materi Pembinaan Animator-Animatris Misioner. Jakarta: Karya Kepausan Indonesia, 2010.

 

[1]Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi (Yogyakarta: Kanisius-Obor, 1996), hlm. 45.

[2]Hari kedelapan artinya hari sesudah hari ketujuh, namun hari kedelapan itu disebut juga sebagai hari pertama dalam setiap Minggu.

[3]Konsili Vatikan II, “Tentang Liturgi Suci” (SC), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 106. Selanjutnya disingkat SC dan diikuti no.

[4]Konsili Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” (LG), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 34. Selanjutnya disingkat LG dan diikuti no.

[5]Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid V (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 230.

[6]Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid VII (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 169.

[7]William Chang, Menggali Butir-Butir Keutamaan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 139.

[8]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan Liturgi Sepanjang Satu Tahun (Jakarta: Obor, 2011), hlm. 13-15.

[9]Ernest Mariyanto, Kamus Liturgi Sederhana (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 67.

[10]Nikolaus Hayon, Capita Selecta (Maumere: STFK Ledalero, 1993), hlm. 1.

[11]Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid V…, hlm. 230.

[12]Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik…, hlm. 49.

[13]Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru (Ende: Nusa Indah, 1995), no. 2174. Selanjutnya disingkat KGK dan diikuti no.

[14]KGK., no. 2175.

[15]Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia Dewasa Ini” (GS), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 67. Selanjutnya disingkat GS dan diikuti no.

[16]KGK., no. 2185.

[17]Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, diterjemahkan oleh Yosef  Maria Florisan dan Paulus Budi Kleden (Maumere-Flores: Ledalero, 2013), no. 284-285.

[18]Laurentius Tarpin, Moral Hukum Allah, disadur oleh Cornelius Fallo, Moral Dekalog, (Gunungsitoli: STP Dian Mandala, 2014), hlm. 18-19. (Diktat).

[19]Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik…, hlm. 46.

[20]SC., no. 5.

[21]SC., no. 102.

[22]KGK., no. 1166.

[23]KGK., no. 1167.

[24]KGK., no. 1170.

[25]KGK., no. 2174.

[26]Laurentius Tarpin, Moral Hukum Allah, disadur oleh Cornelius Fallo, Moral Dekalog…, hlm. 4.

[27]Ibid., hlm. 19.

[28]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 34.

[29]Bosco da Cunha, Tahun Liturgi Gereja Sejarah-Teologi-Pastoral (Malang: STFT Widya Sasana, 1988), hlm. 12.

[30]Ibid.

[31]Ibid., hlm. 14.

[32]Hipolitus K. Kewuel dan Gabriel Sunyoto (ed.), 12 Pintu Evangelisasi: Menebar Garam di Atas Pelangi (Yogyakarta: Wina Press, 2010), hlm. 203.

[33]Serpulus Tano Simamora, Yesus Sebuah Diskusi Kristologis (Medan: Bina Media Perintis, 2005), hlm. 96.

[34]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 39.

[35]William Chang, Menggali Butir-Butir…, hlm. 140.

[36]Bosco da Cunha, Tahun Liturgi…, hlm. 17.

[37]Serpulus Tano Simamora, Yesus Sebuah…, hlm. 104.

[38]Aloys Budi Purnomo, Mohon Roh Kudus (Medan: Bina Media, 2001), hlm. 14.

[39]Tim Karya Kepausan Indonesia, Materi Pembinaan Animator-Animatris Misioner (Jakarta: Karya Kepausan Indonesia, 2010), hlm. 45.

[40]Aloys Budi Purnomo, Mohon Roh…, hlm. 14.

[41]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 40-41.

[42]Ibid.

[43]Bosco da Cunha, Tahun Liturgi…, hlm. 17.

[44]Bosco da Cunha dan Lazarus, Pengantar Teologi (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia, 2011), hlm. 1.8.

[45]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 41.

[46]Konsili Vatikan II, “Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja” (AG), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no. 15. Selanjutnya disingkat AG dan diikuti no.

[47]William Chang, Menggali Butir-Butir…, hlm. 136.

[48]Scott W. Hahn, Teologi Alkitabiah Paus Benediktus XVI, diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata (Jakarta: Fidei Press, 2011), hlm. 218.

[49]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 42.

[50]P.N.J. Van Doornik, Di mana Hal-hal itu tertulis dalam Kitab Suci, diterjemahkan oleh E. Siswanto (Malang: Dioma, 2001), hlm. 166.

[51]Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 64.

[52]Serpus Tano Simamora, Yesus Sebuah…, hlm. 34.

[53]Anicetus B.Sinaga, Imam Triniter Pedoman Hidup Imam (Jakarta: Obor, 2007), hlm. 171.

[54]A. Bakker, Ajaran Iman Katolik 2 untuk Mahasiswa (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 41.

[55]A. Bakker, Ajaran Iman Katolik 1 untuk Mahasiswa (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 28.

[56]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 43.

[57]A. Bakker, Ajaran Iman Katolik 1…, hlm. 24.

[58]Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan tentang Teologi Pencipta ([tanpa kota]: Kanisius, 2004), hlm. 98.

[59]A. Bakker, Ajaran Iman Katolik 2…, hlm. 133.

[60]Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi…, hlm. 125.

[61]Konferensi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Harry Susanto (Yogyakarta: Kanisius, 2009), no. 134.

[62]Bosco da Cunha, Memaknai Perayaan…, hlm. 44.

[63]William Chang, Menggali Butir-Butir…, hlm. 141.

[64]Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi…, hlm. 57.

KEPEMIMPINAN DAN PELAYANAN KETUA LINGKUNGAN DALAM MENYATUKAN UMAT PAROKI SANTA MARIA DIANGKAT KE SURGA KEUSKUPAN MALANG

Gizakiama Hulu*

Abstrak

Peneliti bertolak dari kenyataan bahwa persekutuan umat mulai mundur secara perlahan, baik persekutuan dalam kegiatan rohani maupun sosial. Karena itu, peran ketua lingkungan sebagai pemimpin dan pelayan sangat penting dalam membangun persekutuan umat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis data uji T dan uji F. Untuk itu, mencoba menemukan data tentang pengaruh antara kepemimpinan dan pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat. Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa ada pengaruh positif  antara kepemimpinan dan pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat. Dengan kata lain, semakin baik kepemimpinan dan pelayanan ketua lingkungan maka semakin tinggi terlaksananya persekutuan umat di setiap lingkungan.

Kata Kunci: Kepemimpinan, Pelayanan, Ketua lingkungan, dan Persekutuan Umat

1. Pendahuluan

1.1.  Latar Belakang

Dunia kita dewasa ini ditandai dengan perkembangan pesat transportasi dan media yang mengakibatkan perkembangan aneka lingkungan kebudayaan. Lingkungan kebudayaan yang berubah pada akhirnya menempatkan Gereja pada pengalaman pasang-surut dalam mengembangkan persekutuan umat beriman.  Berhadapan dengan situasi ini, Gereja selalu berusaha membuat kehadirannya tetap relevan. Menurut penulis metode yang dapat diusahakan untuk membuat Gereja tetap relevan adalah adanya pelayanan yang baik dari semua pelayan Gereja, terutama ketua lingkungan yang memimpin dan melayani di lingkungannya sehingga tercipta persekutuan di antara umat. Persekutuan umat ditegaskan oleh Konsili Vatikan II: “Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman yang mengagumkan itu, dan sedemikian erat menghimpun mereka sekalian dalam Kristus sehingga menjadi prinsip kesatuan Gereja”.[1]

Berkaitan tentang ketua lingkungan, maka Mangunhardjana menegaskan mengenai pentingnya peran ketua lingkungan yang memimpin, melayani, dan mempersatukan umat:

Ketua lingkungan merupakan seorang anggota/warga umat yang diangkat menjadi ketua lingkungan resmi gerejani dan menduduki jabatan ketua lingkungan. Untuk menjadi ketua lingkungan, anggota lingkungan dipilih dan diusulkan oleh umat lingkungan; diajukan dan disetujui oleh dewan paroki; ditetapkan oleh uskup melalui surat keputusan dan dilantik oleh pastor paroki melalui upacara gerejani. Sebagai pemimpin ketua lingkungan memiliki wewenang (authority), kekuasaan (power) dan pengaruh (influence).[2]

Dalam menjalankan tugasnya, ketua lingkungan tidak boleh melalaikan tugas pokoknya. Adapun yang menjadi tugas pokok ketua lingkungan, yakni: “Tugas pokok ketua lingkungan adalah mempersatukan jemaat di lingkungan yang bersangkutan dan mengkoordinasikan aktivitas pelayanan pastoral di lingkungannya”.[3]

Sifat dari kepemimpinan ketua lingkungan tidak lepas dari tugas penggembalaan Allah, yang diwujudkan dalam diri Yesus Kristus sebagai Gembala yang baik. Yesus disebut Gembala yang baik, karena Ia menuntun domba-domba ke padang rumput yang hijau (bdk. Yoh. 10:9). Yesus tidak mencerai-beraikan umat, sebaliknya Ia mencari domba yang hilang untuk dipersatukan kembali pada kawanan domba lainnya (bdk. Mat. 18:12-14). Sebagai Gembala yang Baik, Yesus mendampingi, merawat, menyembuhkan, melayani, melibatkan, memberdayakan, dan mengampuni (bdk. Mzm. 23; Luk. 15:1-32; Yoh. 10:11-18; 17:21). Demikian seharusnya ketua lingkungan meneladan Yesus Sang Guru dan Gembala Yang Baik dalam menggembalakan dan melayani umat.

Persekutuan adalah umat Allah, Israel baru yang terbentuk dan hidup di dalam Kristus. Semua orang dipanggil untuk bersatu dan masuk ke dalam persekutuan dengan Allah demi melanjutkan misi Kristus yakni mewujudkan Kerajaan Allah di dunia ini secara konkret. Dokumen Konsili Vatikan II menjelaskan bahwa persekutuan merupakan orang-orang yang bersatu dengan Allah dan sesama.[4] Persekutuan, kebersamaan, dan persaudaraan umat dalam lingkungan tercipta melalui kegiatan rohani maupun kegiatan sosial kemasyarakatan. Berkaitan dengan relasi persaudaraan, maka Cahyadi menerangkan bahwa: “Di dalamnya ada relasi, baik horizontal, relasi satu sama lain maupun vertikal, relasi dengan Allah. Relasi vertikal tersebut menjadi dasar akan bangunan relasi dan ikatan persaudaraan satu sama lain yang setara, bebas dan terbuka”.[5]

Akhir-akhir ini, persekutuan umat mundur dengan perlahan. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan dan sharing beberapa warga umat di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga, persekutuan umat menjadi keprihatinan. Kenyataan bahwa persekutuan umat mundur dalam kegiatan rohani dan sosial di lingkungan. Umat tidak terlibat aktif dalam beberapa kegiatan rohani seperti pendalaman iman, doa rosario, kor dan dalam kegiatan rohani lainnya. Sedangkan dalam kegiatan sosial, umat belum berpartisipasi membantu orang lain, belum berempati dan peka terhadap persoalan sesama, dan lain-lain.[6] Realitas ini memberi gambaran umum tentang persekutuan umat yang belum berjalan dengan baik di lingkungan, maka memunculkan pertanyaan dari pihak penulis: “Apakah yang menyebabkan umat sulit berkumpul? Mengapa umat tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani di lingkungan? Mengapa umat tidak memiliki kepekaan terhadap sesama?”

Melihat situasi di atas, maka penulis meneliti penyebab dari kemunduran persekutuan umat. Teori menekankan pentingnya kepemimpinan ketua lingkungan dalam memengaruhi dan mengarahkan umat lingkungan, baik secara perorangan maupun secara bersama.[7] Ketua lingkungan juga memberikan pelayanan untuk memajukan perkembangan hidup Gereja, sehingga umat semakin berkembang dalam iman dan persekutuan.[8] Oleh karena itu, penulis termotivasi untuk meneliti tentang “Pengaruh Kepemimpinan dan Pelayanan Ketua Lingkungan terhadap Persekutuan Umat di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga Keuskupan Malang.

1.2.  Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah secara umum dalam penelitian ini: “Bagaimana pengaruh kepemimpinan dan pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga?” Dari rumusan umum itu, penulis menjabarkan dalam tiga rumusan khusus sebagai berikut:

  • Apakah ada pengaruh kepemimpinan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga?
  • Apakah ada pengaruh pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga?
  • Apakah ada pengaruh kepemimpinan dan pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga?

 1.3.  Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

  • Menguji dan menganalisis pengaruh kepemimpinan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga.
  • Menguji dan menganalisis pengaruh pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga.
  • Menguji dan menganalisis pengaruh kepemimpinan dan pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga?

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Kepemimpinan Ketua Lingkungan

  • Pengertian
  • Pemimpin sebagai gembala
  • Tugas-tugas pemimpin
  • Pilar-pilar kepemimpinan
  • Fungsi ketua lingkungan sebagai pemimpin

2.2.  Pelayanan Ketua Lingkungan

  • Pengertian
  • Tugas pokok dalam pelayanan
  • Melayani dengan sepunuh hati
  • Karakteristik seorang pelayan
  • Fungsi ketua lingkungan sebagai pelayan

2.3.  Persekutuan Umat

  • Pengertian
  • Membangun persekutuan
  • Kegiatan persekutuan
  • Nilai kebersamaan dalam persekutuan

2.4.  Hipotesis

Hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

1)  Ada pengaruh kepemimpinan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga.

2)  Ada pengaruh pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga.

3)  Ada pengaruh kepemimpinan dan pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga.

3. METODE PENELITIAN

3.1.  Lingkup Penelitian

3.1.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan metode ilmiah, konkret, obyektif, terukur, rasional, dan sistematis.[9]

 3.1.2.  Variabel yang diteliti

Variabel penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan variabel:

(X1) adalah kepemimpinan

(X2) adalah pelayanan

(Y) adalah persekutuan umat sebagai variabel yang diteliti

3.1.3.  Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah umat dari 18 lingkungan di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga yang berjumlah 3603 jiwa.

3.1.4.  Lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga yang terdiri dari 18 lingkungan.

3.2.  Sumber Data

Sumber data atau responden dari penelitian ini adalah subyek penelitian sendiri atau dengan kata lain umat lingkungan.

3.3.  Teknik Pengambilan Sampel

Metode yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan cara Slovin dari tabel Isaac dan Michael.[10] Sampel penelitian dari populasi 3.603 dan tingkat kepercayaan 90% ialah 97 responden dengan kriteria usia 20-80 tahun. Teknik sampling yang dipakai adalah probability sampling dengan sistem simple random sampling.

3.4.  Metode Pengumpulan Data

Sumber data penelitian adalah umat. Teknik pengumpulan data digunakan kuesioner atau angket. Penulis mengumpulkan data penelitian dari responden melalui pengisian kuesioner secara tertutup. Data yang terkumpul diolah dalam uji reliabilitas dan validitas dengan menggunakan perangkat lunak komputer SSPS (Statistical Product and Service Solutions).

3.5.  Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik parametrik. Sebelum menentukan pengujian yang akan dipakai, penulis melakukan pengujian normalitas terlebih dahulu. Salah satu pengujian yang dipakai dalam statistik parametrik ini adalah analisis pengaruh. Di sini diuji pengaruh signifikan, variabel independen secara parsial (uji T) dan variabel secara bersama-sama (uji F).

4. HASIL PENELITIAN

4.1.  Regresi Linier Berganda

Hasil persamaan regresi linier berganda antara kepemimpinan dan pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat disajikan sebagai berikut:

Y = a + b1 X1 + b2 X2 + e

Y = 27.028 + 0.320 X1 + 0.318 X2 + e

Dari persamaan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • Nilai konstanta (a) sebesar 27,028 menunjukkan tanpa adanya pengaruh dari kepemimpinan dan pelayanan ketua lingkungan maka skor jawaban persekutuan umat sebesar 27,028.
  • Nilai koefisien kepemimpinan ketua lingkungan (b1) sebesar 0,320 menunjukkan setiap peningkatan 1 skor jawaban kepemimpinan ketua lingkungan akan meningkatkan skor jawaban persekutuan umat sebesar 0,320.
  • Nilai koefisien pelayanan ketua lingkungan (b1) sebesar 0,318 menunjukkan setiap peningkatan 1 skor jawaban pelayanan ketua lingkungan akan meningkatkan skor jawaban persekutuan umat sebesar 0,318.

4.2.  Pengujian Hipotesis

4.2.1.  Uji Simultan (Uji F)

Hasil pengujian secara simultan dengan uji F didapatkan nilai F hitung (35,885) lebih dari f tabel (3,093) atau nilai signifikansi (0,000) kurang dari alpha (0,050) menunjukkan terdapat pengaruh signifikan antara variabel kepemimpinan dan pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat secara simultan.

4.2.2.  Koefisien Determinasi (R2)

Hasil koefisien determinasi didapatkan nilai R Square sebesar 0,433 artinya bahwa besar pengaruh terhadap variabel persekutuan umat yang ditimbulkan oleh variabel kepemimpinan dan pelayanan ketua lingkungan adalah sebesar 43,3 persen, sedangkan besar pengaruh terhadap variabel persekutuan umat yang ditimbulkan oleh faktor lain adalah sebesar 56,7 persen.

4.2.3.  Uji Parsial (Uji T)

Berikut disajikan hasil pengujian pengaruh antara kepemimpinan ketua lingkungan dan pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat secara parsial dengan menggunakan uji T.

  • Uji parsial antara kepemimpinan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat didapatkan nilai T hitung (2,113) lebih dari t tabel (1,986) atau nilai signifikansi (0,037) kurang dari alpha (0,050) sehingga terdapat pengaruh signifikan antara kepemimpinan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat.
  • Uji parsial antara pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat didapatkan nilai T hitung (2,588) lebih dari t tabel (1,986) atau nilai signifikansi (0,011) kurang dari alpha (0,050) sehingga terdapat pengaruh signifikan antara pelayanan ketua lingkungan terhadap persekutuan umat.

5. PENUTUP

5.1.  Implikasi Hasil Penelitian

Implikasi penelitian dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian. Ditemukan bahwa persekutuan umat meningkat apabila adanya kepemimpinan dan pelayanan yang baik dari ketua lingkungan. Dalam upaya memperoleh persekutuan umat yang tumbuh dan berkembang, maka ketua lingkungan berperan penting untuk merangkul dan melibatkan warga umat lingkungan.

 5.2.  Saran

  • Perlu peningkatan mutu kepemimpinan dan pelayanan para ketua lingkungan guna menyatukan umat di lingkungannya.
  • Hendaknya Gereja sungguh memerhatikan para ketua lingkungan dalam mendampingi warga umat, misalnya memberi pelatihan mengenai kepemimpinan dan pelayanan yang menarik.
  • Kiranya umat berpartisipasi membantu ketua lingkungan dalam menjalankan kegiatan persekutuan lingkungan di belbagai bidang.

  

 

DAFTAR PUSTAKA 

Alkitab. 2001. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Dokumen Konsili Vatikan II. Terj. R. Hardawiryana. 1993. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor. Dalam Lumen Gentium dan Unitatis Redintegratio.

Cahyadi, Krispurwana. Pastoral Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Gitowiratmo, St. 2003. Seputar Dewan Paroki. Yogyakarta: Kanisius.

Mangunhardjana, A.M. 2015. Ketua Lingkungan Kedudukan, Kompetensi, Kinerja dan Spiritualitasnya. Jakarta: Obor.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sujarweni, V. Wiratna. 2014. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

 

 

 

[1]Konsili Vatikan II, Unitatis Redintegratio Dekrit tentang Ekumenisme”, terj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993), no. 2. Selanjutnya disingkat UR dan diikuti no.

[2]A.M. Mangunhardjana, Ketua Lingkungan: Kedudukan, Kompetensi, Kinerja, dan Spiritualitasnya (Jakarta: Obor, 2015), hlm. 5.

[3]St. Gitowiratmo, Seputar Dewan Paroki (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 112.

[4]Konsili Vatikan II, Lumen Gentium “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja”, terj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993), no. 9. Selanjutnya disingkat LG dan diikuti no.

[5]Krispurwana Cahyadi, Pastoral Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 11.

[6]Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti di beberapa lingkungan yang ada di wilayah Gerejawi Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga Keuskupan Malang.

[7]A.M. Mangunhardjana, Ketua Lingkungan:…, hlm. 99.

[8]St. Gitowiratmo, Seputar Dewan…, hlm. 41.

[9]Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 7.

[10]V. Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2014), hlm. 65-66.

Performance Perdana Sanggar Sohagaini STP Dian Mandala

Lomba Seni Tari Kreasi Tradisional Nias yang diselenggarakan oleh Taruna Merah
Putih Kota Gunungsitoli dilaksanakan pada hari Sabtu, 25 Agustus 2018 di Taman
Ya’ahowu. Kegiatan lomba tersebut diikuti oleh 21 Sanggar dari berbagai kelompok tertentu.
Salah satu di antaranya Sanggar Sohagaini STP Dian Mandala. Peserta Sanggar Sohagaini
tidak lain dari mahasiswa STP Dian Mandala yang telah dilatih jauh-jauh hari serta yang
memiliki bakat khusus dalam dunia seni tari. Sanggar Sohagaini telah menunjukkan
kebolehannya di hadapan juri, pejabat Pemerintah Kota Gunungsitoli, dan para hadirin saat
itu. Mereka menampilkan Tari Moyo yang telah dikreasikan dengan baik. Dalam event ini,
Sanggar Sohagaini merupakan performance perdana. Meskipun demikian, peserta penuh
dengan semangat dalam melestarikan kearifan lokal seperti yang tertera pada tema:
“Semangat Perjuangan Cintai Budayamu.”

Pelatihan Kurikulum 2013 (K-13)

Lembaga STP Dian Mandala sebagai wadah pendidikan, maka lembaga juga telah memikirkan masa depan mahasiswa sebagai tenaga pendidik. Oleh karena itu, lembaga menghadirkan ibu Dewi Sartika Simbolon, S.Ag., M.Pd., (Dosen UNIMED) sebagai narasumber dalam memberi pelatihan Kurikulum 2013 (K-13) kepada mahasiswa STP Dian Mandala Tingkat II yang berjumlah 62 orang. Beberapa dosen menjadi pendamping dalam pelatihan tersebut. Pelatihan K-13 akan berlangsung kurang lebih 4 hari yang dimulai hari Selasa, 22 Mei 2018 s/d Jumat, 25 Mei 2018 dengan bertempat di Auditorium STP Dian Mandala. Pelatihan ini bertujuan untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai guru di masa depan, sehingga semakin mantap dalam melaksanakan tugas mengajar di dalam kelas sesuai dengan tuntutan dan karakteristik K-13 yang meliputi kompetensi lulusan isi, proses pembelajaran, dan penilaian. Besar harapan kita bahwa peserta pelatihan akan menjadi konsultan K-13 di mana pun berkarya nantinya. Pada akhirnya, terima kasih kepada pimpinan STP Dian Mandala yang telah memfasilitasi terlaksananya pelatihan ini.

Ikut Memeriahkan Pesta Nama Pelindung dan Paskah Paroki Roh Kudus Lahusa Gomo

Pada hari Minggu, 20 Mei 2018 Sivitas Akademika STP Dian Mandala terlibat secara penuh dalam memeriahkan Pesta Nama Pelindung dan Paskah Paroki Roh Kudus Lahusa Gomo. Kegiatan ini dilaksanakan di Helezalulu, Kecamatan Lahusa, Kabupaten Nias Selatan yang dimulai dengan Perayaan Ekaristi dan dilanjutkan lomba vokal grup antar-stasi se-Paroki Roh Kudus Lahusa Gomo. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Pastor Dekanus-Dekanat Nias dan para Pastor lain sebagai konselebran, Bupati Nias Selatan beserta rombongan, dan seluruh umat di Paroki Roh Kudus Lahusa Gomo. Selain itu, beberapa dosen mendampingi mahasiswa STP Dian Mandala untuk menyukseskan acara tersebut. Tugas yang dihandel para mahasiswa adalah tarian, mazmur, dan paduan suara (kor). Tujuan dari keterlibatan Sivitas Akademika STP Dian Mandala pada waktu yang tepat itu adalah untuk bersatu dengan umat dan menampilkan wajah serta bakat-bakat yang dimiliki oleh mahasiswa.

Kerasulan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Gunungsitoli

Oleh: Elisabet Subiati, S.S., Lic.Th.

(Dosen Tetap STP Dian Mandala)

Kerasulan di Penjara yang dilakukan dosen STP Dian Mandala (Elisabet Subiati, S.S., Lic.Th.) bersama beberapa mahasiswa. Kerasulan tersebut diwujudkan dalam bentuk Ibadat Sabda pada hari Minggu, 29 April 2018 yang lalu. Terkait dengan kegiatan kerasulan di LAPAS ini, salah seorang mahasiswa mengatakan bahwa kerasulan kali ini agak berbeda dari kerasulan-kerasulan yang biasa dilakukan di tengah-tengah umat, yakni di paroki dan di stasi. Mahasiswa yang lain mengungkapan demikian: “Tadi ketika mulai masuk ruangan rasanya tegang banget, tapi setelah berjumpa para Napi, berbincang-bincang dan beribadat bersama dengan mereka akhirnya apa yang dibayangkan tentang para Napi ditransformasi menjadi baru.”

Ibadat Sabda bersama para Napi dilaksanakan di dalam sebuah ruangan yang cukup terjamin dan nyaman, dilengkapi dengan sarana-sarana seperti orgen, dan sebagainya yang diharapkan akan membantu rehabilitasi dan pembinaan kembali para Napi. Ketika Ibadat Sabda dimulai, suster Elisabet mencoba membangun suasana yang diharapkan akan membantu para Napi untuk menyadari bahwa Allah adalah Bapa yang berbelaskasih, yang peduli dan tidak pernah meninggalkan. Allah yang kita panggil sebagai Bapa juga sedih melihat kemalanganmu, demikian suster Elisabet mengajak para Napi untuk membuka hati akan Sabda Allah yang akan dibacakan dalam Ibadat.

Ibadat Sabda kali ini berjalan dengan lancar. Para Napi tidak hanya ikut-ikutan saja dalam kegiatan ini, tapi mereka sungguh-sungguh mengikuti Ibadat, hal itu tampak nyata ketika suster Elisabet bertanya kalimat mana dari bacaan tadi yang masih Anda ingat? dua orang di antara para Napi mengatakan ini: “Akulah pokok anggur yang benar” dan “diluar Aku kamu tidak berbuah”. Akhirnya, suster Elisabet memulai renungannya dari kalimat yang diucapkan kua Napi ini. Dalam renungannya, suster Elisabet mengatakan bahwa Yesus bukan saja pokok Anggur yang abal-abalan atau palsu, tapi Ia adalah pokok Anggur yang Benar. Kebenaran Yesus terletak pada keinginanNya, supaya setiap ranting berbuah banyak. Namun, ada ranting yang tidak berbuah. Mengapa? Karena ada saluran yang tersumbat, maka supaya saluran lancar kembali apa yang perlu dilakukan? membuka sumbat. Diakhir renungannya ada dua niat yang ditawarkan oleh suster Elisabet, yang pertama mau mengampuni siapa saja dan yang kedua menolong siapa saja tanpa mengharapkan balasan.

Kegiatan di LAPAS tersebut dapat terlaksana berkat bantuan dari berbagai pihak, terutama terima kasih kepada para petugas LAPAS yang telah berkenan memberikan kesempatan untuk melakukan kerasulan dan juga terima kasih kepada bapak Sitepanus Zebua yang telah berkenan membantu kelancaran pelaksanaan tugas kerasulan ini. Ucapan terima kasih juga kepada mahasiswa, semoga pengalaman ini dapat menambah wawasan yang akan bermanfaat bagi Anda di masa sekarang maupun di masa mendatang.

Public Hearing: Masihkah Adat Membelenggu?

Pada tanggal 20 April 2018, dosen STP Dian Mandala (Elisabet Subiati, S.S., Lic.Th. dan Evimawati Harefa M.Ag.) mengikuti public hearing/dialog interaktif dengan tema: Masihkah Adat Membelenggu? Potret perempuan dalam adat/budaya Nias terkini yang dilaksanakan oleh Yayasan Holiana’a dalam rangka merayakan hari Kartini tahun 2018. Pertemuan ini mendialogkan masalah yang dihadapi oleh wanita Nias khususnya berkaitan dengan masalah adat.
Berdasarkan pengalaman yang disampaikan oleh para peserta sebagian mengatakan bahwa adat tidak membelenggu perempuan saat ini, dengan alasan bahwa ada banyak perempuan yang sudah sekolah dan menjadi pemimpin saat ini. Akan tetapi, sebagian juga mengatakan bahwa adat masih sangat membelenggu perempuan Nias sampai sekarang. Hal ini dapat dibuktikan dari sistem budaya yang tidak mewarisi harta kepada perempuan, “Bowo” ditentukan berdasarkan jenjang pendidikan seorang anak perempuan tidak diperkenankan mengambil keputusan dalam upacara adat “huhuo hada”, perempuan memiliki tugas multi ganda dibandingkan dengan peran laki-laki, otonomi dalam diri perempuan kurang, dan masih banyak lagi praktek-praktek yang mendiskriminasikan perempuan. Singkatnya, hal demikian terjadi karena sistem patriark yang masih sangat melekat dalam budaya orang Nias.
Menyikapi hal tersebut, peserta mengusulkan beberapa saran sebagai rencana tindak lanjut, yaitu: Mengubah “Fondrako” (sistem adat yang sudah disahkan), mensosialisasikan hasil kegiatan kepada masyarakat umum, menulis buku tentang gender, dan membentuk tim kerja untuk seminar hasil pertemuan yang akan dilaksanakan tahun depan.